Persoalan stunting di Kabupaten Kepulauan Sangihe kembali menjadi sorotan setelah data hasil pengukuran Februari 2025 yang dirilis, menunjukkan angka yang mengkhawatirkan.
Dari hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) yang kerap menjadi rujukan nasional, tercatat 105 kasus stunting tersebar di 10 kecamatan. Namun, data ini menimbulkan polemik karena tidak bisa diakses secara luas oleh publik dan pemangku kepentingan, sehingga memicu pertanyaan soal transparansi dan validitas.
Sumber data ini juga berbeda dengan hasil e-PPGM dari Dinas Kesehatan Daerah yang terjun langsung melakukan pendampingan terhadap penderita. Perbedaan metodologi dan pengambilan data antara SSGI dan e-PPGBM menjadikan masyarakat bingung mana yang harus dipercaya.
Di balik angka-angka tersebut, terdapat akar masalah yang kompleks. Tidak hanya soal kesehatan, tapi juga faktor non-kesehatan seperti:
Pola asuh: tercatat 5 anak hanya diasuh oleh ibu tanpa keterlibatan ayah.
Akses pangan: keterbatasan konsumsi protein hewani dan pangan bergizi seimbang.
Sanitasi dan air bersih yang belum merata.
Edukasi orang tua yang masih rendah, terutama soal pentingnya 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Sementara itu, dari sisi kesehatan, masih banyak anak yang belum mendapatkan layanan intervensi gizi spesifik, imunisasi, serta pemantauan tumbuh kembang secara optimal.
Kepala Dinas Kesehatan Daerah, dr. Handry Pasandaran, mengatakan data ini menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor.
“Stunting bukan hanya urusan dinas kesehatan. Ini soal kepedulian bersama,” ujarnya
Berbagai rekomendasi pun diajukan, termasuk penguatan kader posyandu, perbaikan sanitasi lingkungan, hingga penguatan koordinasi lintas OPD dan pemangku kebijakan.
Namun publik bertanya: Apa artinya data SSGI jika tidak bisa diakses dan diverifikasi? Apakah kebijakan akan tetap efektif jika berdasar angka yang dipertanyakan?
Isu stunting di Sangihe kini bukan hanya soal gizi, tetapi juga soal akuntabilitas data dan kepercayaan publik.
