Pemerintah kembali mencatatkan defisit pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hingga pertengahan tahun ini, defisit tercatat melebar seiring turunnya pendapatan negara dan meningkatnya kebutuhan belanja. Ironisnya, kondisi ini terjadi di tengah gencarnya kampanye efisiensi anggaran oleh pemerintah pusat maupun daerah.
Pertanyaannya, untuk apa efisiensi dilakukan jika realitas fiskal tetap menunjukkan jurang defisit yang makin terbuka?
Efisiensi anggaran selama ini dipahami sebagai langkah menekan belanja yang tidak prioritas, memangkas biaya perjalanan dinas, dan menyederhanakan berbagai program yang tidak berdampak langsung pada masyarakat. Namun, apakah efisiensi ini benar-benar menyentuh akar pemborosan atau hanya formalitas penghematan administratif?
Di sisi lain, belanja negara tetap tumbuh, terutama untuk subsidi, bansos, proyek infrastruktur, hingga komitmen pembayaran utang. Pendapatan negara tidak tumbuh secepat ekspektasi. Penerimaan pajak cenderung stagnan, sementara penerimaan negara bukan pajak (PNBP), terutama dari sektor SDA, melemah karena harga komoditas global tak lagi setinggi tahun lalu.
Situasi ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan struktural. Efisiensi memang dibutuhkan, tapi jika tak dibarengi dengan reformasi penerimaan dan perbaikan kualitas belanja, maka sekadar efisiensi hanyalah tindakan tambal sulam.
Lebih dari itu, publik berhak bertanya: efisiensi ini dilakukan untuk siapa? Jika tujuannya adalah menjaga kredibilitas fiskal negara, seharusnya manfaatnya bisa dirasakan oleh masyarakat luas, terutama di daerah tertinggal dan perbatasan yang masih minim infrastruktur dan layanan dasar.
Di tengah defisit, transparansi penggunaan anggaran menjadi kunci. Rakyat ingin tahu: ke mana anggaran dialokasikan, sektor mana yang diprioritaskan, dan seberapa besar dampaknya terhadap kesejahteraan. Tanpa transparansi, efisiensi bisa saja menjadi jargon yang menutupi kegagalan mengelola keuangan negara secara berkeadilan.
Pada akhirnya, defisit APBN bukan sekadar angka. Ia mencerminkan tantangan nyata dalam merumuskan kebijakan fiskal yang adil dan berpihak. Efisiensi hanyalah alat – bukan tujuan. Tujuan utamanya tetap satu: memastikan setiap rupiah anggaran memberi manfaat sebesar-besarnya untuk rakyat Indonesia.
