Solusi Krisis Listrik di Perbatasan: Realita Sangihe dan Ambisi Nasional

Catatan Suara Sangihe: Daerah perbatasan bukan hanya soal simbol kedaulatan, tapi juga tempat manusia hidup dan bermasyarakat.

Krisis listrik yang melanda wilayah perbatasan seperti Kabupaten Kepulauan Sangihe bukan sekadar soal teknis, tetapi juga menyangkut keadilan pembangunan dan keberpihakan negara terhadap daerah terluar.

Pemadaman bergilir yang berlangsung berminggu-minggu wilayah—yang berbatasan langsung dengan Filipina—menunjukkan rapuhnya infrastruktur ketenagalistrikan di garis depan kedaulatan. Padahal, di tingkat nasional, pemerintah telah menggulirkan berbagai program ambisius untuk pemerataan energi, seperti Program Indonesia Terang, Elektrifikasi 100%, dan pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).

Namun, implementasi di lapangan—khususnya di daerah-daerah perbatasan laut seperti Sangihe—masih jauh dari harapan. Sejumlah langkah lokal memang mulai diambil. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe, misalnya, telah memanggil manajemen PLN UP3 Tahuna untuk mendesak solusi jangka pendek dan menengah.

Dorongan ini menandai keberpihakan pemerintah daerah terhadap keresahan warga, namun terbentur keterbatasan sistemik, seperti ketergantungan pada pembangkit berbahan bakar solar yang biaya operasionalnya tinggi dan pasokannya rentan. Sementara itu, di tingkat nasional, Kementerian ESDM mendorong pembangunan PLTS Komunal di pulau-pulau kecil dan mengupayakan integrasi jaringan listrik antarpulau di wilayah perbatasan timur.

Program ini memang sudah berjalan di beberapa titik di Papua, Maluku, dan NTT. Namun, hingga kini Sangihe baru pulau Lipang, Kecamatan Tatoareng dan lainya masih menunggu giliran.

Ironisnya, pulau-pulau di Sangihe yang menyuplai hasil laut, tetap hidup dalam ketidakpastian energi. Warga harus mengatur ulang aktivitas harian karena listrik sering padam. Siswa belajar di bawah cahaya lilin, dan pelayanan kesehatan terganggu.

Catatan ini hendak menegaskan: daerah perbatasan bukan hanya soal simbol kedaulatan, tapi juga tempat manusia hidup dan bermasyarakat.

Jika listrik adalah urat nadi pembangunan, maka ketimpangan suplai energi di perbatasan mencerminkan luka dalam tubuh republik.

Pemerintah pusat perlu lebih dari sekadar program di atas kertas. Komitmen keberpihakan harus terwujud dalam langkah nyata—memastikan daerah perbatasan tidak sekadar dihitung dalam statistik nasional, tapi dihidupi oleh keadilan energi yang konkret.

Penulis: Ronny Serang

Bagikan:

Artikel terkait

Terpopuler

Peluang dan Tantangan Menjadi Kepala Daerah di Kabupaten Kepulauan Sangihe: Pilkada...

Suara Redaksi

Beri Pesan Tegas Usai Lantik Pj Kapitalaung, Thungari: Pemdes Denyut Utama...

Sangihe

Refleksi Hari Kartini: Juita Baraming, Perempuan Sangihe yang Menata Harapan Lewat...

Sangihe

Dilema Angka Stunting Sangihe

Suara Sangihe

Pahlawan Tanpa Sorotan: Dari Laut Talise, Nelayan Menjemput Nyawa Sebelum Negara...

Kolom

Terkini

Artikel Terkait

Terkini