Sebuah tantangan besar dihadapi oleh pemimpin daerah dalam mewujudkan pembangunan di tengah keterbatasan anggaran dan ruang fiskal yang semakin menekan. Di Kabupaten Kepulauan Sangihe, kondisi ini menjadi realitas yang harus dihadapi dengan strategi yang matang dan langkah-langkah penuh kehati-hatian.
Sejak awal tahun, kebijakan efisiensi anggaran terus menjadi sorotan. Transfer Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pemerintah pusat mengalami penyesuaian, sementara Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih belum cukup menopang seluruh program pembangunan minimal menutupi operasional. Akibatnya, berbagai rencana yang telah disusun dalam visi-misi kepala daerah harus disesuaikan dengan kemampuan fiskal yang ada.
Ibarat menyantap bubur yang masih panas, semua harus dilakukan dengan hati-hati. Jika terburu-buru, bisa-bisa malah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Maka, program prioritas yang direncanakan harus dikaji ulang. Didalamnya program kebutuhan dasar perlu diatur ulang dan memerlukan strategi agar pelayanan tetap berjalan optimal meski anggaran terbatas.
Di sisi lain, masyarakat tentu memiliki harapan besar. “Pak, kapan kesejahteraan kami meningkat? Bagaimana dengan sekolah kami? Pelayanan kesehatan bisa lebih baik, kan?” Semua pertanyaan itu hadir sebagai bentuk kepercayaan dan ekspektasi yang tinggi.
Dalam situasi ini, sang pemimpin menyadari bahwa membangun daerah bukan sekadar menjalankan program, tetapi juga mengelola harapan dengan komunikasi yang baik. Transparansi dalam menyampaikan kondisi, mencari solusi bersama, serta menggali potensi lokal menjadi kunci utama.
Meskipun tantangan anggaran ada, langkah-langkah kecil yang strategis tetap bisa membawa perubahan. Jika tidak bisa membangun jalan sepanjang puluhan kilometer, setidaknya bisa dimulai dari titik-titik prioritas. Jika belum bisa membangun sekolah baru, maka meningkatkan kualitas pembelajaran bisa menjadi solusi alternatif.
“Kadang sulit membedakan antara prioritas dan (ke) penting (an),” tulis Albert Huppy Wounde
Menyantap bubur panas memang harus dimulai dari pinggir. Begitu pula dalam membangun daerah—perlu pendekatan yang bertahap, penuh kehati-hatian, tetapi tetap berorientasi pada kemajuan. Yang terpenting, setiap langkah yang diambil harus membawa manfaat nyata bagi masyarakat, sekecil apa pun itu.
Bagi Kabupaten Kepulauan Sangihe, membangun daerah di tengah keterbatasan anggaran bukan sekadar persoalan teknis, tetapi juga seni mengelola harapan. Setiap kebijakan yang diambil harus mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan mendesak dan kemampuan anggaran yang tersedia.
Karena pada akhirnya, bukan seberapa cepat janji dapat ditunaikan, tetapi seberapa bijak langkah-langkah kecil itu bisa membentuk perubahan yang berkelanjutan.
