Pada Minggu malam, KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe menggelar debat terbuka pasangan calon (Paslon) untuk Pilkada Sangihe 2024. Dengan tema “Pembangunan Berkelanjutan,” debat ini menghadirkan empat paslon yang berlaga memperebutkan kursi kepemimpinan di daerah perbatasan ini. Setiap paslon diberi kesempatan untuk memaparkan visi, misi, serta program kerja prioritas yang akan mereka jalankan jika terpilih.
Dipandu oleh Merry Sasenga, seorang jurnalis perempuan asal Sangihe, debat berlangsung dalam enam segmen. Di balik keseriusan acara ini, terungkap sebuah dinamika menarik—seolah-olah para calon menggambarkan bahwa menjadi pemimpin di Sangihe adalah tugas yang sederhana. Padahal, sebagai wilayah perbatasan yang strategis tantangan di Sangihe sangatlah kompleks.
Yang tak kalah menarik adalah narasi yang hampir seragam dari para calon. Mereka terlihat lebih berpihak pada kepentingan Aparatur Sipil Negara (ASN), seolah-olah fokus mereka hanya terbatas pada profesi yang hak-haknya dijamin oleh negara. Seakan-akan tidak ada pemahaman bahwa masyarakat Sangihe terdiri dari berbagai elemen yang juga membutuhkan perhatian dan keberpihakan.
Tak satu pun dari paslon ini mengangkat aspirasi dan kebutuhan generasi muda, terutama pemilih generasi Z dan milenial yang mencakup sekitar 60 persen dari total pemilih. Padahal, kelompok ini sangat mengharapkan kehadiran pemerintah dalam membangun daerah yang inklusif, inovatif, dan siap menyongsong era Indonesia Emas 2045.
Debat ini, yang seharusnya menjadi ajang penyampaian gagasan yang solutif dan menyeluruh, justru seakan mengulang pola lama dalam politik lokal. Di tengah tuntutan masyarakat yang makin kompleks, diharapkan bahwa para Paslon dapat lebih memahami kebutuhan semua lapisan masyarakat di Sangihe serta tantangan nyata di wilayah perbatasan ini.