Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia

PERGERAKAN nasional modern Indonesia diawali dengan kemunculan serikat buruh, awalnya SS Bond tahun 1905; kemudian Boedi Oetomo (1905) dan Syarikat Dagang islam/Syarikat Islam (SDI/SI) (1911/1912), yang belum mampu memanifestasikan kehendak merdeka dalam programnya; kemudian ISDV (1914) dan Perserikatan Komunist Hindia, yang secara signifikan sudah sanggup mengemban keinginan merdeka dalam programnya dan mencoba mewujudkannya bersama rakyat.

Perjuangan pembebasan dalam menentang penjajahan mencapai puncaknya pada pemberontakan nasional 1926/1927, yang berakhir dengan kegagalan. Sekitar 13.000 pejuang kemerdekaan dipenjara, dibuang ke Boven Digul, dan dibunuh oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Salah satu sebab utama kegagalan tersebut adalah ketidakmampuan kaum progresif tersebut dalam mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan potensial rakyat, sehingga tidak memiliki kekuatan dalam menghadapi aparat militer Pemerintah Kolonial Belanda.

Kegagalan perlawanan 1926/1927 tak menyurutkan langkah untuk merdeka, perjuangan ternyata bergerak maju.

Pada tahun 1927/1929 berdiri Partai Nasional Indonesia (PNI) di bawah pimpinan Ir. Soekarno. PNI berwatak kerakyatan dan garis massa. Sisa-sisa kaum progresif yang masih hidup lalu bergabung dengan PNI, yang dianggap sebagai alat politik untuk melawan kaum penjajah.

Dukungan yang luas terhadap PNI pun memaksa penguasa Kolonial Belanda membuang para aktivis PNI ke penjara, termasuk Soekarno.

Aktivitas revolusioner yang dilakukan oleh kaum muda dan progresif tetap dilanjutkan dengan gerakan bawah tanah. Di bawah kondisi yang represif, terbitan dan pertemuan gelap lainnya terus dijalankan.

Ketika fasisme mulai merambah Eropa dan Asia, kesetiaan perjuangan terhadap kemerdekaan tetap terjaga. Kaum muda kembali mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan potensial rakyat dengan membentuk Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di bawah pimpinan Amir Sjarifudin.

Pada tahun 1939, Gerindo bersama-sama Parindra dan PSII membangun suatu front bersama untuk menghadapi fasisme. Front tersebut bernama Gabungan Politik Indonesia (GAPI), kaum muda menggunakan GAPI sebagai alat politik untuk menentang fasisme sekaligus untuk melawan kolonialisme. Perang Dunia ke-II adalah perang kaum penjajah.

Pada tahun 1939, Perang Dunia ke-II meletus saat Jerman, di bawah Hitler, menyerbu Polandia. Jepang kemudian menyerbu Hindia Belanda dan mengusir kekuasaan Belanda, menggantikannya dengan pemerintahan administrasi militer.

Kerja paksa (romusha) diberlakukan untuk membangun infrastruktur perang, seperti pelabuhan, jalan raya, dan lapangan udara, tanpa diupah. Serikat buruh dan partai politik dilarang. Yang diperbolehkan berdiri hanya lah organisasi boneka buatan pemerintahan militer Jepang seperti PETA, Keibodan dan lain sebagainya.Walaupun kaum muda mengalami jatuh-bangun dalam perjuangannya, namun garis perjuangan melawan fasisme tetap dipertahankan.

Kaum muda terutama kaum demokrat-radikal, melalui organisasi-organisasi pergerakan bawah tanah, mulai membentuk Gerakan Anti-Fasis (Geraf), Gerakan Indonesia Merdeka (Gerindom), dan sebagainya. Amir Sjarifudin, sebagai orang yang paling setia melawan fasisme ditangkap dan dipenjarakan pada tahun 1943.

Di lain pihak, sebagian besar kaum priyayi justru mengambil praktek politik kompromi, konsesi, dan kolaborasi terhadap fasis Jepang; sementara kaum demokrat-liberal terpaksa harus menjalankan taktik politik kooperasi dengan pemerintahan militer Jepang.

Bagikan:

Artikel terkait

Tinggalkan Komentar

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terpopuler

Peluang dan Tantangan Menjadi Kepala Daerah di Kabupaten Kepulauan Sangihe: Pilkada...

Suara Redaksi

Beri Pesan Tegas Usai Lantik Pj Kapitalaung, Thungari: Pemdes Denyut Utama...

Sangihe

Refleksi Hari Kartini: Juita Baraming, Perempuan Sangihe yang Menata Harapan Lewat...

Sangihe

Pahlawan Tanpa Sorotan: Dari Laut Talise, Nelayan Menjemput Nyawa Sebelum Negara...

Kolom

Dilema Angka Stunting Sangihe

Suara Sangihe

Terkini