Peringatan Hari Olahraga Nasional tahun ini menjadi momentum refleksi, bukan hanya tentang semangat berolahraga, tetapi juga arah kebijakan olahraga nasional pasca lahirnya Undang-Undang Keolahragaan yang baru.
Salah satu catatan penting adalah posisi Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) yang kian dipersempit. Jika dulu KONI memiliki ruang luas dalam pembinaan olahraga prestasi, kini fungsi itu kembali ditarik ke regulator, dalam hal ini pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana nasib pembinaan atlet di daerah, yang selama ini bertumpu pada KONI sebagai motor penggerak organisasi olahraga? Tanpa kejelasan peran, KONI berpotensi kehilangan arah, sementara pemerintah pusat belum tentu mampu menyentuh detail kebutuhan pembinaan di akar rumput.
Di tingkat daerah, persoalan makin kompleks. KONI daerah selama ini menjadi ujung tombak mendeteksi bibit atlet, membina, hingga memfasilitasi mereka menuju pentas nasional. Dengan peran yang kabur, dikhawatirkan akan muncul kekosongan dalam pola pembinaan berjenjang, yang pada akhirnya merugikan masa depan atlet daerah.
Diterbitkannya Peraturan Menteri Pemuda dan Olahraga (Permenpora) Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2024, yang ditetapkan pada 18 Oktober 2024, menjadi angin perubahan dalam sistem pembinaan olahraga prestasi di daerah.
Regulasi ini mengatur secara rinci pembentukan dan peran sentra pembinaan olahraga prestasi di tingkat daerah, yang ternyata membawa konsekuensi besar terhadap eksistensi Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
Permenpora ini menyebutkan adanya delapan bentuk organisasi olahraga dalam Pasal 3, di mana posisi KONI berada di urutan kedua. Namun yang menjadi sorotan, peran strategis KONI seperti yang dahulu dikenal—sebagai motor penggerak utama pembinaan dan pengukuhan cabang olahraga prestasi—kini digeser. Berdasarkan Pasal 19 Permenpora tersebut, pelatihan dan pengukuhan cabang olahraga prestasi kini langsung di bawah kewenangan Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Salah satu perdebatan mencuat mengenai legitimasi kelembagaan KONI dalam konteks regulasi baru ini. Jika mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2024, khususnya Pasal 69, sebuah organisasi olahraga disebut sah apabila dibentuk oleh masyarakat, berbadan hukum, dan menjadi anggota federasi internasional. Pertanyaannya, di mana posisi KONI dalam federasi olahraga internasional? Jawabannya jelas—KONI tidak tercatat sebagai anggota federasi internasional manapun.
Kondisi ini membuat keberadaan KONI secara legal formal hanya bertumpu pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, serta Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2016 tentang pelaksanaan UU Ormas tersebut. Padahal selama puluhan tahun, KONI diakui sebagai induk pembinaan olahraga nasional yang berperan penting dalam mencetak atlet-atlet berprestasi.
Kini, dengan tidak diakomodirnya posisi strategis KONI dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan dan diperkuat oleh PP No. 46 Tahun 2024 serta Permenpora No. 14 Tahun 2024, banyak pihak menilai inilah awal dari akhir era kejayaan KONI.
Hari Olahraga kali ini seharusnya tidak hanya dirayakan dengan seremoni, tetapi dijadikan ruang dialog untuk menegaskan kembali peta jalan pembinaan olahraga nasional. Perlu kejelasan: apakah KONI akan tetap menjadi mitra strategis pemerintah, atau sekadar simbol tanpa kewenangan berarti?
Ke depan, jika tidak ada sinkronisasi peran antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan KONI, maka yang terancam bukan hanya eksistensi organisasi, tetapi juga masa depan prestasi olahraga Indonesia.