Lintasutara.com – Setiap tanggal 20 Mei, kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional—sebuah momentum historis yang menandai lahirnya semangat kolektif bangsa untuk bangkit dari penjajahan, ketertinggalan, dan keterbelakangan.
Namun hari ini, lebih dari satu abad sejak Budi Utomo berdiri, kita patut bertanya: benarkah seluruh anak bangsa telah merasakan kebangkitan yang sama?
Di kota-kota besar, geliat pembangunan nyaris tak berhenti. Infrastruktur tumbuh, ekonomi bergerak, dan akses terhadap pendidikan serta layanan kesehatan membaik.
Tapi di sisi lain, daerah-daerah perbatasan seperti Kepulauan Sangihe—yang bersisian langsung dengan Filipina—masih berjibaku dengan persoalan dasar: listrik yang tidak stabil, akses air bersih terbatas, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang tertinggal, hingga sinyal komunikasi yang acap hilang.
Ironisnya, daerah-daerah ini justru menjadi garda terdepan kedaulatan Indonesia. Mereka menjadi benteng pertama dalam menjaga batas negara, namun juga yang paling sering luput dari perhatian kebijakan nasional. Kata “tertinggal” bukan sekadar status administratif, tapi realita sehari-hari yang dialami masyarakat perbatasan.
Peringatan Kebangkitan Nasional semestinya bukan sekadar seremonial. Ia harus menjadi pengingat bahwa kebangkitan itu belum merata. Ia menuntut kehadiran negara secara utuh, hingga ke titik terjauh Nusantara.
Karena bila Indonesia ingin benar-benar bangkit sebagai bangsa, maka tak boleh ada satu pun wilayah—terlebih yang berada di tapal batas—yang merasa dianaktirikan.
Kebangkitan yang sejati adalah ketika rakyat di Marore bisa berkata: “Kami bangkit bersama Indonesia.”
