Suara Sangihe: Kontemplasi Albert Huppy Wounde

Di bawah langit biru yang membentang di atas gugusan Kepulauan, berdiri seorang pria yang meskipun bukan berasal dari tanah ini, telah membasuhkan hatinya pada setiap gelombang, setiap desir angin, dan setiap nada berdenyut kuat seperti ritme alat musik tradisional (musike kalaeng) menggema di antara pegunungan dan pantai.

Dia adalah Albert Huppy Wounde, Penjabat Bupati Sangihe yang telah menjadi bagian dari denyut nadi masyarakat pulau-pulau perbatasan ini.

Albert Huppy Wounde, nama yang kini akrab didengar di antara rakyat pesisir, membawa kehangatan di tengah angin utara yang kadang tajam. Ia memang bukan berdarah Sangihe, tetapi cintanya pada budaya dan tradisi setempat melampaui sekat asal-usul. Ia bagaikan layar yang terbuka lebar, siap menangkap angin yang datang dari mana saja, selama itu menuju pelayaran ke arah yang baik.

Saat pertama kali menginjakkan kaki di tanah Sangihe sebagai penjabat bupati, Albert tidak memulai dengan gemuruh kata-kata besar. Ia memilih mendengar, menyerap setiap cerita yang diceritakan oleh sesepuh adat, oleh nelayan, dan ibu-ibu yang ‘menenun kain’ Sangihe dengan sabar.

“Budaya adalah cerminan jiwa,” ucap Albert suatu ketika dalam pertemuan membahas budaya. Kalimat itu tidak sekadar ungkapan klise. Ia membuktikan kata-katanya dengan memberi ruang bagi anak muda berekspresi dalam lakon budaya bahkan dengan fasih mengucapkan salam hangat dalam bahasa Sangihe.

Albert menganggap budaya bukan sekadar peninggalan, tetapi warisan hidup yang terus menyala. “budaya harus dijaga agar nyalanya tidak padam di terpa badai zaman.” Katanya.

Albert
Penjabat Bupati Kepulauan Sangihe Albert Huppy Wounde dan Istri Goyang Masamper Bersama Badan Adat Sangihe Usai Penjemputan di Rumah Jabatan Bupati (Foto : Gerald Kobis)

Dalam posisinya sebagai penjabat bupati, Albert menghadapi tantangan yang tidak kecil. Sangihe, sebagai salah satu daerah perbatasan, kerap menjadi garis terdepan yang menghadapi berbagai persoalan, mulai dari kualitas SDM birokrasi, pembangunan infrastruktur yang tertatih, keterbatasan akses pendidikan dan kesehatan, hingga ancaman terhadap lingkungan akibat eksploitasi tambang.

Namun, di tengah badai itu, ia memilih pendekatan yang humanis. Dalam setiap kebijakan, ia menyisipkan rasa hormat pada kearifan lokal. Salah satu langkah nyatanya adalah sedang mengembalikan sepenuhnya koffo sebagai hak milik dan jadi diri warga Sangihe yang selama ini hanya dimanfaatkan pihak tertentu hingga mendukung para pemuda untuk kembali mencintai warisan leluhur.

Bagi Albert, jabatan sebagai penjabat bupati adalah amanah, bukan sekadar tugas administratif. Dalam banyak kesempatan, ia menyampaikan bahwa ia ingin dikenang bukan sebagai pejabat, tetapi sebagai seorang sahabat bagi masyarakat Sangihe.

“Sangihe telah memberikan saya banyak pelajaran tentang kehidupan,” katanya dengan gaya dan senyum yang khas. “Dan cara saya berterima kasih adalah dengan mencintai tanah dan budaya ini seperti milik saya sendiri.”

Maka, dalam waktu yang sangat singkat, meskipun ia tidak lahir dari rahim Sangihe, Albert Huppy Wounde telah menjadi bagian dari kisah besar pulau-pulau ini. Ia adalah teladan bahwa cinta pada sebuah tanah tidak selalu harus lahir dari darah, tetapi bisa tumbuh dari niat, kepedulian, dan kesetiaan pada nilai-nilai luhur.

Albert Huppy Wounde telah membuktikan bahwa cinta pada budaya adalah bahasa universal. Dan di Sangihe, ia telah menulis puisi kehidupan, dengan setiap langkahnya sebagai bait yang melodius.

Bagaimana dengan kita orang Sangihe, cinta pada budaya?

Bagikan:

Artikel terkait

Terpopuler

Peluang dan Tantangan Menjadi Kepala Daerah di Kabupaten Kepulauan Sangihe: Pilkada...

Suara Redaksi

Beri Pesan Tegas Usai Lantik Pj Kapitalaung, Thungari: Pemdes Denyut Utama...

Sangihe

Pahlawan Tanpa Sorotan: Dari Laut Talise, Nelayan Menjemput Nyawa Sebelum Negara...

Kolom

Refleksi Hari Kartini: Juita Baraming, Perempuan Sangihe yang Menata Harapan Lewat...

Sangihe

Dilema Angka Stunting Sangihe

Suara Sangihe

Terkini