Manado, Lintasutara.com — Kuasa hukum terdakwa kasus dugaan korupsi rekonstruksi jalan dalam Kota Moronge, Selvi Takaliwuhang, menyatakan keberatan atas tuntutan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Advokat Nofrian Maariwuth, S.H., S.IP., dan Sulitno Ambat, S.H., selaku kuasa hukum terdakwa, menilai tuntutan tersebut tidak adil dan mengabaikan fakta persidangan.
“Kami menolak dengan keras tuntutan JPU yang menjatuhkan pidana penjara lima tahun terhadap klien kami, Selvi Takaliwuhang, serta kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 1,33 miliar lebih, denda Rp 250 juta, dan pidana tambahan berupa penjara empat tahun jika uang pengganti tidak dapat dibayar,” tegas Adv. Nofrian dalam keterangannya.
Tuntutan yang Memberatkan
Tuntutan JPU menyebutkan bahwa Selvi, selaku Direktur Utama PT. Cantera Baru, bertanggung jawab atas dugaan kerugian negara dalam proyek rekonstruksi jalan di Moronge, yang dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) pada 2021.
Selain pidana lima tahun, Selvi diharuskan membayar uang pengganti Rp 1.338.729.202,61 dan denda Rp 250 juta. Jika kewajiban itu tidak dipenuhi, Selvi terancam hukuman tambahan berupa penjara empat tahun untuk uang pengganti dan enam bulan untuk denda.
“Ini seperti menghukum klien kami secara berlebihan. Klien kami hanya seorang karyawan toko yang diminta tanda tangan berkas oleh Hendrik Togelang, tetapi malah dijadikan tersangka utama. Ke mana para pelaku lain yang sebenarnya bertanggung jawab?” ujar Nofrian.
Dugaan Ketidakwajaran dalam Penetapan Terdakwa
Menurut kuasa hukum, fakta persidangan menunjukkan bahwa Selvi menjadi direktur perusahaan setelah adanya pengalihan nama dari Hendrik Togelang alias Ko Bun. Namun, Selvi disebut tidak memahami bahwa dokumen yang ditandatangani terkait pembelian saham dan pengalihan perusahaan.
“Kami merasa ini perbuatan dzolim. Klien kami hanya disuruh tanda tangan oleh pihak tertentu, tapi sekarang malah dihukum seperti seorang koruptor besar. Ada yang tidak wajar dalam kasus ini, dan kami akan membawa masalah ini ke Komisi III DPR RI,” tambah Nofrian.
Keraguan atas Perhitungan Kerugian Negara
Kuasa hukum juga mempertanyakan keabsahan perhitungan kerugian negara dalam proyek tersebut. Mereka menyoroti bahwa hanya ada satu ahli yang menjadi acuan, yaitu ahli dari Politeknik, tanpa adanya kajian lapangan dari lembaga resmi seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“BPK RI sudah memeriksa proyek ini dan menyatakan ada kerugian, tetapi kerugian tersebut sudah dibayarkan. Kami mempertanyakan lembaga mana yang berwenang menghitung kerugian negara dalam kasus ini,” jelas Nofrian.
Seruan untuk Keadilan
Kuasa hukum mendesak perhatian dari Komisi III DPR RI untuk memantau kasus ini secara khusus. Mereka menilai ada kejanggalan besar dalam proses hukum terhadap Selvi Takaliwuhang.
“Kenapa hanya direktur yang dipenjara? Bagaimana dengan para penandatangan dokumen lainnya? Ini adalah bentuk ketidakadilan yang harus menjadi perhatian publik dan pemerintah,” ujar Ryan
Kuasa hukum berkomitmen untuk terus memperjuangkan keadilan bagi klien mereka dan meminta agar proses hukum dilakukan secara transparan dan adil.
(Redaksi)