
Memiliki jargon ‘Somahe Kai Kehage’ yang jika diartikan secara sederhana berarti gigih dan pantang menyerah. Namun, jika meminjam ungkapan Albert Huppy Wounde ketika pertama kali menginjakkan kaki di wilayah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, Filipina ini, sebagai Penjabat Bupati, beliau memaknai jargon ini dengan kalimat ‘Semakin Keras Semakin Bagus’
Kabupaten Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara, juga memiliki bahasa daerah. Bahasa Sangihe adalah bagian tak terpisahkan dari identitas budaya masyarakat. Bahasa ini mengandung nilai-nilai adat, sejarah, serta kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun. Sayangnya, seiring berkembangnya zaman dan dominasi bahasa nasional serta global, bahasa Sangihe kini termasuk dalam daftar bahasa daerah yang terancam punah.
Menurut data dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bahasa daerah di Indonesia, termasuk bahasa Sangihe, menghadapi risiko kepunahan akibat berbagai faktor. UNESCO juga memperkirakan bahwa dalam kurun waktu beberapa dekade mendatang, bahasa-bahasa daerah yang tidak lagi dituturkan oleh generasi muda berpotensi punah. Bahasa Sangihe kini masuk dalam kategori rentan karena penggunaannya semakin terbatas pada kalangan usia tua, sementara generasi muda cenderung lebih menguasai bahasa Indonesia dan bahasa asing.
Penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa asing (terutama bahasa Inggris) yang diperlukan di dunia kerja, telah menggeser peran bahasa daerah. Anak-anak muda Sangihe kini lebih terbiasa menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari, baik di rumah maupun di sekolah. Belum lagi, banyak pemuda Sangihe yang merantau ke kota-kota besar untuk mencari pekerjaan atau melanjutkan pendidikan. Kondisi ini menyebabkan mereka lebih jarang dan terkesan malu menuturkan bahasa daerah sehingga cenderung kehilangan keahlian dalam berbahasa Sangihe.
Selain itu, kurangnya pewarisan bahasa daerah dari generasi ke generasi juga menjadi penyebab. Hal ini sangat nampak di Kota Tahuna dan bahkan mulai merambah ke desa-desa. Para orang tua di Sangihe lebih memilih untuk menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Melayu Manado ketika berbicara dengan anak-anak mereka, dengan harapan agar anak-anak lebih siap bersaing di dunia yang lebih luas. Namun, kebiasaan ini justru memperlemah pewarisan bahasa daerah kepada generasi muda. Begitu juga, materi ajar dan dokumentasi tertulis tentang bahasa Sangihe masih minim dan terbatas. Hal ini mengakibatkan kurangnya sumber daya yang mendukung pembelajaran bahasa Sangihe secara formal, baik di sekolah maupun di luar. Dengan demikian, upaya pelestarian menjadi benteng terakhir untuk menjaga bahasa Sangihe dari ancaman kepunahan.
Lintasutara Institute, salah satu lembaga yang fokus pada kerja-kerja budaya, baru-baru ini melaksanakan seminar ‘Pengembangan dan Pelestarian Bahasa Sangihe’ untuk mendorong pembelajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah sebagai langkah penting untuk memastikan generasi muda tetap mengenal bahasa Sangihe. Kurikulum yang mengintegrasikan bahasa daerah dapat membantu anak-anak memahami budaya dan identitas mereka sejak dini. Pemerintah daerah, melalui dinas pendidikan, dapat memasukkan pelajaran bahasa Sangihe sebagai bagian dari muatan lokal.
Upaya lain yang dapat dilakukan adalah mengadakan pelatihan atau kursus bahasa Sangihe untuk pemuda dan remaja dengan metode kreatif yang dapat meningkatkan minat mereka dalam mempelajari dan menggunakan bahasa daerah. Program-program seperti kamp bahasa, lokakarya, atau festival budaya yang mengangkat bahasa daerah sebagai tema utama dapat menarik minat generasi muda untuk mempelajari bahasa ibu mereka.
Di era teknologi ini, sangat penting untuk memanfaatkan digitalisasi sebagai solusi efektif dalam pelestarian bahasa. Aplikasi belajar bahasa, kamus online, dan konten media sosial dalam bahasa Sangihe dapat membantu mempopulerkan kembali bahasa ini. Dengan memanfaatkan platform digital, masyarakat dapat mengakses kamus, cerita rakyat, dan kosakata dalam bahasa Sangihe di mana saja dan kapan saja.
Pada titik ini, masyarakat memiliki peran penting dalam melestarikan bahasa Sangihe. Orang tua diharapkan untuk lebih aktif berkomunikasi dalam bahasa Sangihe di rumah dan di lingkungan sekitar. Pemerintah daerah juga diharapkan berperan aktif melalui program ‘Meberang Sangihe’. Selain itu, komunitas lokal dapat mengadakan pertemuan berkala yang menggunakan bahasa Sangihe, seperti kelompok diskusi, kegiatan seni tradisional, atau perayaan adat.
Mendokumentasikan bahasa Sangihe dalam bentuk tertulis, audio, dan video juga merupakan upaya penting untuk menjaga bahasa ini dari kepunahan. Dokumentasi ini bisa meliputi kosakata, tata bahasa, cerita rakyat, serta syair dan lagu tradisional yang kaya akan nilai budaya. Pemerintah daerah, akademisi, dan komunitas lokal dapat bekerja sama untuk menciptakan basis data yang bisa diakses oleh publik.
Namun, upaya pelestarian bahasa Sangihe menghadapi sejumlah tantangan, mulai dari kurangnya dukungan finansial hingga keterbatasan sumber daya manusia yang kompeten dalam pembelajaran bahasa daerah. Sering kali, kebijakan yang mendukung pelestarian bahasa daerah masih bersifat sporadis dan tidak berkesinambungan. Selain itu, dominasi teknologi dan media sosial dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing juga membuat upaya pelestarian bahasa daerah semakin sulit. Sangat penting untuk dicatat bahwa bahasa Sangihe bukan hanya sekadar alat komunikasi; ia juga merupakan simbol identitas dan kekayaan budaya masyarakat Sangihe yang unik
Dengan adanya upaya bersama dari pemerintah, masyarakat, dan generasi muda, bahasa Sangihe memiliki harapan untuk tetap hidup dan terus berkembang. Pelestarian bahasa bukan sekadar tugas individu, tetapi menjadi tanggung jawab bersama untuk menjaga warisan budaya yang tak ternilai ini agar tetap dikenal dan dihormati oleh generasi mendatang.
Suara Sangihe harus terus bergema, tidak hanya di Kepulauan Sangihe, tetapi juga di seluruh Indonesia, sebagai pengingat akan pentingnya keberagaman budaya dan bahasa daerah. Mempertahankan bahasa daerah adalah bentuk penghormatan terhadap leluhur, dan pelestarian bahasa Sangihe merupakan bagian penting dari merawat identitas yang merupakan jiwa dari budaya Sangihe serta kekayaan budaya bangsa.