Kampungsawah dan Tradisi Ngeriung

Penulis: Dr. Heriyono Tardjono, SH, M.Kn.

Pada Sabtu 11 Mei 2024 yang lalu, saya diajak oleh Romo HC Eko Praptanto untuk ikut meramaikan acara “Ngeriung Bareng” dengan beberapa tokoh lintas agama di Paseban Lor Gereja Katolik Santo Servatius Kampung Sawah, Bekasi.

Acara Ngeriung ini merupakan salah satu acara dari sekian banyaknya acara dalam rangkaian kegiatan “Sedekah Bumi” yang rutin diadakan setiap tahunnya.

Ada dua kata yang saya beri tanda petik dalam paragraf di atas, “Ngeriung Bareng” dan “Sedekah Bumi”.

Sedekah Bumi

Bagi sebagian generasi 80an dan 90an yang tumbuh besar di daerah pedesaan tidaklah asing dengan istilah ini, kegiatan sedekah bumi rutin dilakukan setidaknya setahun sekali, bahkan di beberapa daerah pesisir tidak jarang dalam satu tahun terdapat dua kali kegiatan sedekah, yaitu sedekah bumi dan sedekah laut.

Bagi masyarakat pedesaan, kegiatan sedekah bumi ini merupakan bentuk rasa syukur masyarakat atas berkah dan anugrah yang diberikan Allah, Tuhan Yang Maha Esa melalui air, udara, tumbuhan yang ada di bumi dengan semua isinya. Dalam sedekah bumi dikandung maksud ajaran peghormatan terhadap alam, bahwa manusia sebagai khalifah di bumi haruslah bijak dalam mengelola relasi dengan alam.

Bukannya Allah telah mengingatkan di dalam Al Quran bahwa “nampak jelasnya kerusakan di muka bumi karena ulah tangan-tangan manusia”. Tidak jarang alam menunjukan perlawanan langsungnya terhadap kelaliman manusia terhadap alam, banjir, tanah longsor, kekeringan, bahkan pemanasan global merupakan bentuk respon alam terhadap cara manusia mengatur relasi dengan alam.

Oleh karena itu, tradisi sedekah bumi merupakan tadzkiroh atau pengingat bahwa manusia yang dianugrahi akal yang sempurna haruslah bijak dalam mengelola bumi dengan segala isinya ini.

Ngeriung Bareng

Ngeriung atau ngobrol santai sebagai sebuah kebiasaan sederhana masyarakat nusantara menjadi menarik apabila dikaitkan dengan proses transfer pengetahuan. Beberapa kali survei literasi menunjukkan bahwa tingkat literasi masyarakat Indonesia masih relatif rendah.

Survei yang dilakukan oleh Program for International Student Assesment (PISA) pada 2022 menempatkan Indonesia di peringkat 70 dari 81 negara. Dalam pembacaan saya, jangan-jangan kita ini memang bukan bangsa pembaca, tapi bangsa penyimak dan pendengar.

Sekedar contoh untuk membuktikan hipotesa ini dapat dilihat dari penguasaan orang-orang tua kita dulu terhadap kisah sejarah kuno yang disampaikan dalam budaya tutur. Orang-orang tua kita dulu hafal betul tentang kisah Mahabarata, dari awal perang pembuka di medan Kurusetra sampai tokoh terakhir yang gugur dalam palagan perang antar saudara tersebut. Tidak hanya hafal, bahkan kisah-kisah dalam Mahabarata tersebut tidak jarang dipedomani dan dijadikan nilai rujukan dalam menghadapi permasalahan di kehidupan yang nyata.

Begitu juga dengan kisah Ramayana, mereka nyaris hafal diluar kepala bagian per bagian dari epos tersebut, padahal saya sangat yakin orang-orang tua kita dulu tidak pernah membaca Kitab Mahabarata dan Ramayana. Jangankan membaca, melihat kitab gubahan Maharesi Mpu Wyasa dan Maharesi Mpu Walmiki pun mungkin tidak pernah.

Oleh karena itu, bisa jadi transfer pengetahuan yang paling cocok untuk masyarakat Indonesia secara umum mungkin bukan melalui membaca, tetapi lebih ke arah menyimak, melihat dan mendengarkan. Terbukti saat ini beberapa materi yang ditampilkan secara audiovisual oleh konten-konten di media sosial lebih mudah diingat dan mungkin lebih mudah dimengerti oleh umumnya masyarakat.

Hal ini menjadikan minat membaca hanyalah dimiliki oleh golongan-golongan tertentu dilapisan masyarakat kita, golongan yang jaman dulu mungkin lebih banyak didominasi oleh para wangsa brahmana dibanding wangsa ksatria, waisya, terlebih sudra.

Tugas para pembaca itulah yang kemudian harus menyebarkan bacaannya kepada para khalayak luas, dan dalam kondisi tertentu juga harus berusaha “mengunyah” dan melembutkan bacaan yang relatif berat sehingga mudah para awam mencernanya.

Dalam tradisi Kampungsawah, salah satu proses penyebaran bacaan tersebut adalah melalui “ngeriung bareng”, pola tutur dan ngobrol yang biasanya tanpa batasan tema dan batasan waktu.

Mereka yang kuat bacaan dan pengalamannya biasanya menuturkan apa yang didapat dari hasil membacanya kepada yang lainnya. Tidak jarang antar pembaca kemudian berusaha saling membadingkan atau mengkomparasikan bahan bacaannya.

Konklusi

Mungkin untuk bangsa tertentu inilah cara meningkatkan level literasi sebuah bangsa yang notabene adalah bangsa penyimak, bukan bangsa pembaca.

Beruntunglah bagi mereka yang masih bisa merasakan nikmatnya membaca, menyelami kata demi kata dan berusaha mencari rasa dalam setiap kalimat yang ada, kemudian berusaha merangkainya menjadi sebuah mozaik pengetahuan yang luar biasa indahnya.

*Dr. Heriyono Tardjono, SH, M.Kn adalah Founder dan Pengasuh Aksara Pinggir.

Bagikan:

Artikel terkait

Terpopuler

Peluang dan Tantangan Menjadi Kepala Daerah di Kabupaten Kepulauan Sangihe: Pilkada...

Suara Redaksi

Beri Pesan Tegas Usai Lantik Pj Kapitalaung, Thungari: Pemdes Denyut Utama...

Sangihe

Refleksi Hari Kartini: Juita Baraming, Perempuan Sangihe yang Menata Harapan Lewat...

Sangihe

Pahlawan Tanpa Sorotan: Dari Laut Talise, Nelayan Menjemput Nyawa Sebelum Negara...

Kolom

Dilema Angka Stunting Sangihe

Suara Sangihe

Terkini