Paskal Toloh: Pemilu, Politik Uang dan Cara Mengatasinya

Manado, Lintasutara.com — Secara normatif larangan Politik uang dimasa kampanye Pemilu ditegaskan dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j Undang-Undang 7/2017 tentang Pemilu menyatakan bahwa “Pelaksana, Peserta dan Tim Kampanye Pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye pemilu” dalam bagian penjelasan ditegaskan yang
dimaksud dengan “menjanjikan atau memberikan” adalah inisiatifnya berasal dari pelaksana dan tim kampanye Pemilu yang menjanjikan dan memberikan untuk memengaruhi Pemilih.

Yang dimaksud dengan “materi lainnya” tidak termasuk meliput pemberian barang-barang yang merupakan atribut Kampanye Pemilu.

Meskipun ancaman pidana sebagai konsekuensinya peserta pemilu dengan para calon legislatifnya (dalam hal ini Pemilihan DPRD, DPR RI dan DPD) masih marak melakukan praktik politik uang dengan berbagai cara.

Selain dalam bentuk uang tunai atau e-wallet yang lazim, saat ini politik uang harus dimaknai secara lebih luas sebagaimana makna “materi lainnya” dalam UU Pemilu seperti bantuan barang, hadiah (individual gifts) dalam suatu kegiatan sosial atau keagamaan serta saat ini marak terjadi berupa pelayanan dan aktivitas (services and ac-vi-es) yang dikemas dalam bentuk pelaksanaan lomba atau turnamen olahraga atau e-sport yang dibiayai oleh para calon legislatif.

Seharusnya, segala tindakan ini yang
dimaksudkan untuk memengaruhi preferensi politik pemilih untuk insentif elektoral para caleg haruslah dipandang sebagai praktik politik uang.

Suburnya politik uang dalam setiap agenda pemilu, antara lain disebabkan oleh beberapa faktor:

Pertama, proses penegakan yang seringkali dijalankan secara kaku oleh penegaknya yaitu Bawaslu, orientasi penegakan yang cenderung kaku pada tekstual norma dan mengesampingkan konteks membuat praktik politik uang yang mengandalkan barang sebagai imbalan atau pelayanan terselubung dianggap suatu kewajaran atau kelaziman oleh penyelenggara pemilu.

Kedua, para calon yang minim gagasan karena proses rekrutmen partai yang tidak objektif dan tidak bersandar pada sistem pengkaderan yang berkualitas membuat para calon memaknai jabatan anggota legislatif sebagai “pemburu rente” atau jabatan profit membuat kesan caleg sebagai “job seeker” sehingga logika kapitalis yang digunakan yaitu keikutsertaan pemilu harus membutuhkan modal (uang/materi) yang besar untuk membeli suara pemilih guna untuk menduduki jabatan yang dapat menghasilkan profit individual.

Padahal jabatan anggota legislatif adalah Amanah publik yang harus dijalankan dengan semangat pengabdian kepada rakyat sebagai pemegang Daulat.

Ketiga, lemahnya daya dukung substansi aturan yang bisa menciptakan efektifitas penanganan politik uang dimana subjek politik uang hanya ditekatkan pada pelaksana kampanye atau tim para calon yang masuk dalam struktural tim pemenangan, tidak menjangkau setiap orang diluar struktural.

Kemudian, masalah proporsionalitas pertanggungjawaban antara penerima imbalan yang disamakan dengan pemberi sebagai subjek pelaku politik uang, membuat proses penanganan secara khusus pembuktian akan sulit dilakukan.

Juga perihal penindakan oleh KPU berupa sanksi administratif pembatalan sebagai calon juga sulit dilakukan karena harus menunggu panjangnya proses peradilan sampai putusan yang Inkract oleh pengadilan (berkekuatan hukum tetap) setidaknya berpotensi membuka ruang mafia peradilan pemilu untuk mempengaruhi putusan dan sulitnya pembuktian karena harus memenuhi pelanggaran yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif (Pasal 285) membuat praktik politik uang tidak
dapat diatasi karena “sistem” yang tidak efektif ini.

Selain faktor yang bersifat institusional diatas, politik uang juga disebabkan oleh faktor eksternal seperti kuasa politik oligarkis yang menjadikan pemilu sebagai objek untuk mempertahankan dan meningkatkan kekayaan para elit-oligarkis atau lazim disebut “cukong”, dengan berbagai konstribusinya seperti memberikan insentif atau modal kepada para calon untuk mengikuti pemilu dengan harapan ketika berkuasa dapat menjamin aktivitas bisnis mereka dengan sarana peraturan atau kebijakan.

Akibat dari praktik korupsi elektoral ini akan bermuara pada korupsi politik seperti manipulasi kebijakan publik (regulatory capture), kolusi dan nepotisme dalam pemeintahan serta praktik koruptif lainnya.

Pada akhirnya, untuk mengatasi praktik politik uang paling tidak dapat dilakukan dengan,:

Pertama, evaluasi substansi aturan yang menjamin efektifitas penanganan politik uang.

kedua, peningkatan kapasitas penegakan hukum pemilu yang bersandar pada progresifitas penegakan tidak kaku pada belenggu tekstual aturan dibarengi dengan menjaga independensi penyelenggara pemilu dari cengkraman kepentingan partai politik atau kuasa elit tertentu.

Ketiga, membangun kesadaran republikanisme bagi penyelenggara negara (dalam hal ini penyelenggara pemilu) bahwa agenda kenegaraan (dalam hal ini pemilu) harus berorientasi pada kepentungan rakyat yang bersandar pada preposisi “kebaikan bersama” (common good) dan perspektif keutamaan wargawi (civic virtue).

Penulis : Pascal Wilmar Yehezkiel Toloh ( Founder Manado Legal Studies, Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan FH UGM)

Bagikan:

Artikel terkait

Tinggalkan Komentar

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terpopuler

Peluang dan Tantangan Menjadi Kepala Daerah di Kabupaten Kepulauan Sangihe: Pilkada...

Suara Redaksi

Beri Pesan Tegas Usai Lantik Pj Kapitalaung, Thungari: Pemdes Denyut Utama...

Sangihe

Refleksi Hari Kartini: Juita Baraming, Perempuan Sangihe yang Menata Harapan Lewat...

Sangihe

Pahlawan Tanpa Sorotan: Dari Laut Talise, Nelayan Menjemput Nyawa Sebelum Negara...

Kolom

Dilema Angka Stunting Sangihe

Suara Sangihe

Terkini