Sangihe, Lintasutara.com – Peristiwa Kematian Tuhan Yesus tak bisa dipungkiri selalu punya tempat dalam hati umat Kristiani, yang tiap tahun ditandai dengan ibadah Jumat Agung.
Pun demikian dengan Jemaat GMIST Efrata Tahuna pagi ini, Jumat (07/04/2023). Warga Gereja dipusat kota Tahuna ini berbondong-bondong memasuki kompleks gedung ibadah sejak pukul 09.00 Wita.
Tiga diantaranya, dua orang perempuan yang sibuk menyiapkan kursi roda dan seorang lansia yang menunggu diturunkan dari kendaraan yang ditumpangi; Kehadiran ketiganya menjadi pembeda lantas menyita perhatian.
Usut punya usut, ternyata ketiganya adalah tiga generasi. Yang termuda bernama Wanda Kalendesang, cucu, Ibu Henny yang merupakan anak dan tentu saja yang menjadi magnet, Oma Chatrina Justintje Rompis.
Ketiganya merupakan warga jemaat GMIST Efrata Tahuna yang bertempat tinggal di Kelurahan Manente. Sekira 4,4 km dari tempat peribadatan.
Masuk ke barisan depan tempat duduk warga jemaat dengan didorong cucunya, Oma Tintje Rompis mengikuti semua prosesi peribadatan dengan khusuk.
Dari kursi rodanya, Oma mulai dari menyanyi meski nyaris tak terdengar, fokus dalam khotbah meski dengan pandangan yang tak begitu jelas hingga Perjamuan Kudus meski harus dibantu anak dan cucunya.
kehadiran Oma yang kini berusia 86 tahun ini rupanya langsung menampar hati sejumlah jemaat terutama kaum muda yang sebelumnya masih disibukan dengan ponsel pintarnya.
“Melihat Oma, saya jadi malu jika alpa ke gereja dengan kondisi tubuh kita yang masih kuat dan sehat,” ujar beberapa jemaat muda.

Henny: Sudah Sejak Malam Oma Ingatkan Masuk Gereja
Dengan kondisi tubuh yang sudah termakan usia, sejatinya fenomena ini menjadi momentum nan mengharukan; tentu tidak banyak mereka yang mau duduk diam selama lebih dari 1 jam.
Namun tidak dengan Oma Tintje. Dirinya meminta anaknya agar bisa turut ke Gereja bahkan sedari malam hari apalagi dia tahu akan ada Perjamuan Kudus.
“Sudah dari malam Oma mengingatkan ingin ke Gereja hari ini. Bahkan sejak malam juga oma sibuk mengingat pakaian hitam yang akan dia kenakan,” ujar Henny, putri Oma Tintje, ketika bersua lintasutara usai ibadah.
Perempuan kelahiran Manganitu 17 Oktober 1936 inipun menurut anak dan cucunya sudah sibuk sejak pagi mulai dari sarapan hingga minta dimandikan agar bisa tepat waktu hadir dalam ibadah nan penting dalam kehidupan iman umat Kristen ini.
“Bagi kami keluarga hal ini menjadi motivasi nan mengharukan melihat bagaimana orang tua kami penuh semangat untuk bersekutu dalam ibadah. Apalagi Oma begitu semangat menunggu momentum hari ini,” sebutnya dengan binar mata yang bangga.

Oma Tintje, Sebuah Gambaran Kesetiaan Iman
Tak hanya bagi keluarga, motivasi tentu hadir dalam diri warga jemaat yang melihat kuatnya semangat Oma Tintje dalam beribadah.
Ini adalah gambaran kesetiaan dalam iman menurut Lenny, salah satu warga Jemaat yang turut hadir dalam momentum Jumat Agung di GMIST Efrata Tahuna.
Barangkali, lanjutnya, tak bisa dipungkiri jika Ibadah terkadang hanya dianggap acara seremonial ataupun kebiasaan sehingga harus hadir jika sehat ataupun sempat dan alpa saat kurang enak badan atau cuaca yang kurang mendukung.
“Kehadiran Oma menjadi gambaran bagaimana kesetiaan kita untuk tetap bersekutu dalam kebersamaan iman; memuji dan memuliakan Tuhan sebagai Sang pemilik kehidupan,” singkatnya.
Tak jauh berbeda, kesan yang samapun ucapkan Ryan, salah satu pemuda GMIST Efrata Tahuna. “Ini harusnya menjadi contoh bagi kita. Dalam kondisi apapun kita harus mengingat Tuhan dan persekutuan.
Bukan hanya datang ibadah lantas pulang, tapi menghayati dengan benar apa maksud peribadatan. Hari ini saya belajar hal itu dari Oma Tintje,” tegas pemuda yang juga merupakan jurnalis ini.
Diakhir wawancara bersama keluarga dan sejumlah warga, sebuah pesan-pun keluar terbata-bata dari mulut Oma Tintje, lumayan menohok.
“Kalo Oma nda (tidak) bisa hadir Ibadah, itu selalu jadi utang (hutang) Oma kepada Tuhan,” pesan Oma Tintje singkat namun penuh makna nan dalam dengan binar matanya yang lembut.
(Ger)