Dukung karya jurnalisme perbatasan Lintasutara.com
Lihat
LU TV

Waduh! Pemilik Lahan di Area PT IWIP Diduga Belum Terbayar?


Maluku Utara, Lintasutara.com — Menjadi sebuah berkah Untuk Investasi Pertambangan, dimana Kehadiran PT Indonesia Weda Bay Indutsrial Park (IWIP) di Desa Lelilef, Kecamatan Weda, Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng), Maluku Utara (Malut) bisa disebut berkah untuk investasi pertambangan Tanah Air.

Bagaimana tidak, perusahaan yang melakukan pengolahan logam berat itu menanamkan investasi terbilang fantastis.
Dilansir dari berbagai sumber, investasi yang digelontorkan dari 2018 sampai 2025 mencapai US$ 19,1 juta. Investasi besar tersebut menyerap puluhan ribu pekerja.
Investasi besar dengan serapan puluhan ribu tenaga kerja patut disyukuri.

Makanya Presiden Jokowi menetapkan kawasan industri yang dikelola PT IWIP di Lelilef, Weda, Halmahera Tengah (Halteng) sebagai salah satu proyek strategis nasional.

Penetapan tersebut melalui Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional.

Sayangnya investasi gedongan dan perhatian khusus dari pemerintah Indonesia itu berbanding terbalik dengan pemenuhan hak-hak masyarakat atas tanah mereka yang diduga sudah digunakan perusahaan asal Cina ini. Salah satu contohnya datang dari pengeluhan para ahli waris Alexander de Gorio.

“Kami heran saja di atas tanah kami sudah berdiri areal perkantoran, smelter dan powen plan PT IWIP. Padahal sampai saat ini kami belum pernah menjual atau melakukan pengalihan hak atas tanah yang jumlahnya mencapai puluhan hektar, Bahkan kalau dihitung seluruhnya di kampung Lelilef berkisar ratusan hektar,” kata Nurdiana de Gorio, salah satu ahli waris kepada wartawan di Ternate, Senin (13/2/2023).

Kepemilikan atas tanah yang membentang di kawasan pertambangan itu menurut Nurdiana berdasarkan egeindom verbonding eugendom verb no 64 yang diterbitkan di Manado 18 Desember 1924.

“Tanah itu milik leluhur kami Alexander de Gorio,” Tegas Nur.

Bukti pendukung lainnya yang bisa menjadi petunjuk adalah penetapan ahli waris dari Pengadilan Agama Pengadilan Agama Soasio, Malut. Melalui surat nomor 20/Pdt.O/2020/PA.SS yang ditandatangani Panitera Pengadilan Agama Soasio, Malut, Mursal Ayub SAg tertanggal 6 Mei ditetapkan lima ahli waris untuk lahan tersebut.

Kelima ahli waris tersebut adalah Johan de Gorio (67), Sarah Usman de Gorio (62), Muchlis de Gorio (60 tahun), Jufri de Gorio (53) dan Nurdiana de Gorio (52).

Selain kelima orang tersebut, juga disebutkan sembilan orang cucu yang merupakan anak-anak dari lima ahli waris inti.

Nur mengakui jika sempat ada pihak lain yang sudah memalsukan dan menjual lahan milik mereka itu. Pihak yang dimaksud itu adalah Felix Baay.

“Felix Baay masih keluarga dekat kami juga. Dulu orang tua kami Usman de Gorio menitipkan surat-surat kepemilikan lahan ke Abdullay Baay, orang tua Felix Baay. Ketika itu anak-anak dari Usman de Gorio masih kecil-kecil,” Nur menguraikan.

Sayangnya surat-surat berharga itu justru tak dikembalikan ke pemilik yang sah. Felix Baay malah menjual kurang lebih 20-an hektar yang berisikan kebun kelapa ke PT Weda Bay Nickel (WBN) dan PT IWIP seharga Rp2,5 miliar.
Atas terjadinya transaksi tersebut, Johan de Gorio dan empat ahli waris lainnya serta warga yang mengetahui status kepemilikan itu melakukan aksi demonstrasi. Namun, massa tidak bisa berbuat apa-apa karena PT IWIP dan PT WBN menggunakan bantuan pengamanan.

“Selaku ahli waris, kami merasa yakin Felix Baay dan orang-orang tertentu dari PT WBN/PT IWIP, bahkan instansi terkait telah melakukan tindakan disengaja ataupun tidak disengaja menghilangkan hak-hak dari warisan leluhur kami. Lahan itu berupa tanah kebun kelapa yang terletak di lelilef, yang kini jadi area perkantoran PT IWIP,” ungkap Nur.

Para ahli waris mengaku sempat lega saat Kejaksaan Tinggi Malut mengeluarkan surat nomor: B-259/Q2.4./Eku/2021 tentang pengembalian berkas perkara atas tersangka Felix Baay alias Hi Felik yang disangka melanggar pasal 263 ayat 1 dan 2 atau pasal 372 KUHPidana.

Dalam surat yang ditujukan ke Diskrimum Polda Malut itu, Kajati Malut antara lain berharap dilakukan penyitaan surat asli penjualan kebun kelapa di Lelilef, Kewedan Utara, Malut, 28 Juni 1963. Di surat yang ditandatangani Asisten Tindak Pidana Umum Kejati Malut, Saiful Bahri SH, MH pada 2 Juli 2021 itu disebutkan pula bahwa tersangka disangkakan dengan pasal 372 KUHP yang memililiki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain.
“Sudah ada penyebutan tersangka untuk Felix Baay. Sebenarnya ini petunjuk kalau semua transaksi yang dilakukan Felix Baay itu tidak benar. Ada pemalsuan dokumen,” kata Nur.

Sayang Felix Baay sampai berita ini diturunkan tak bisa dihubungi. Sementara General Manager External Relations & Human Resource PT Weda Bay Nickel, Yudi Santoso ketika dihubungi sebelumnya mengaku tak tahu soal ini.

“Kalau soal tanah, saya tidak tahu,” ujar Yudi singkat.

Sementara pemerhati sosial Amas Mahmud yang kini menetap di Jakarta menyayangkan kebijakan dan sikap PT IWIP tersebut. Seharusnya menurut Amas, investasi besar itu berbanding lurus dengan pemenuhan hak-hak atas kepemilikan tanah dan lebih memerhatikan masyarakat sekitar. (Ardy)

Bagikan:

Artikel terkait

Advertisement

Terpopuler

Heboh Dugaan Penganiayaan Wartawan, Ini Profil Kepala Stasiun PSDKP Tahuna: Martin...

Sangihe

Rokok Ilegal hingga Dugaan Penganiayaan Wartawan, Kepala PSDKP Tahuna Terjerat Kontroversi

Sangihe

Ferdy Sondakh Imbau Kader PDI-P Sangihe Bersabar

Sangihe

Dari Manado ke Panggung BPU Sangihe, Sanggar Teater Kavirsigers Bakal Sajikan...

Sangihe

Ferdy Sondakh Tegaskan Penentuan Ketua DPC PDI-P Hak Prerogatif Ibu Ketum

Sangihe

Terkini