Sangihe, Lintasutara.com – Puluhan Mahasiswa dan Pemuda Sangihe kembali memasuki halaman gedung DPRD Kabupaten Kepulauan Sangihe ; dalam barisan aksi masa bertajuk “Selamatkan Sangihe”, Selasa (18/01/2022).
Dalam gerakan tersebut, barisan masa aksi dengan atribut bendera Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan Liga Mahasiswa Nasional Demokrasi (LMND) ‘melontarkan’ 3 tuntutan.
“Adapun yang menjadi tuntutan kami, yakni Usir PT. TMS dari Kabupaten Kepulauan Sangihe dan laksanakan sesuai UU No. 1 tahun 2014, cabut UU Minerba No. 3 tahun 2020 dan cabut UU Cipta Kerja,” ujar orator.
Sayang, masa aksi yang bergerak mulai dari gerbang SMA N 1 Tahuna kurang lebih pukul 10.00 Wita ini belum berhasil menemui Pimpinan dan Anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Sangihe untuk menyampaikan aspirasi secara langsung.
Diperhadapkan dengan kondisi tersebut, sejumlah Mahasiswa dan Pemuda-pun bereaksi ‘menggeledah’ gedung DPRD Sangihe untuk membuktikan hadir-tidaknya para Aleg Tampungang Lawo, didampingi Kepala Bagian Persidangan, Perundang-undangan dan Humas Sekretariat DPRD Sangihe Ronald Lumiu.
Ketua Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND) wilayah Sulawesi Utara Alfian Tempongbuka ketika dihubungi awak media menyampaikan kekecewaannya karna tidak bisa berhadapan langsung dengan Pimpinan maupun anggota DPRD lainnya.

“Ini sudah ketiga kalinya kami yang tergabung dalam koalisi Mahasiwa menggelar aksi di DPRD Sangihe, akan tetapi hingga kini tidak ada respon dari anggota DPRD Sangihe dan hal ini membuat kami sangat kecewa dengan sikap mereka,” ujar Tempongbuka.
Baca Juga : Tolak PT. TMS, KAMPASS Long March Hingga Serahkan Pernyataan Sikap
Terkait poin-poin yang menjadi aspirasi dirinya bersama masa aksi, pria yang akrab disapa Alfian ini menjelaskan jika Undang-undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020 merupakan sentralisasi kebijakan masalah pertambangan yang notabene sangat merugikan daerah-daerah terpencil.
Baca Juga : Indeks Pembangunan Manusia Sulawesi Utara Tahun 2021
Lantas, daerah pada faktanya tidak mempunyai kewenangan terkait permasalahan tersebut. “Padahal, persoalan pertambangan terjadi di daerah atau Kabupaten-kabupaten terpencil termasuk Sangihe,” sembur pria yang kali ini menjadi Koordinator Aksi.

Sementara, untuk untuk Undang-undang Cipta Kerja, Alfian menegaskan jika Undang-undang ini akan menjadi karpet merah bagi perusahaan asing dalam mengelolah sumber daya alam di Indonesia.
“Termasuk juga PT. TMS yang masuk ke Kabupaten Kepulauan Sangihe juga melalui Undang-undang ini,” jelasnya.
Menanggapi suara kaum muda Sangihe ini, Lumiu menyatakan jika pada saat ini memang para Wakil Rakyat Daerah Kepulauan Sangihe sedang memiliki agenda lain diluar daerah, baik untuk memenuhi undangan Partai, maupun yang bersifat kelembagaan di DPRD.
“Kami telah memohon maaf kepada mereka (Masa Aksi). Mereka tidak membuat surat resmi ke DPRD sehingga (Para Aleg, red) sudah lebih dahulu mengikuti agenda lain. Maka, kami juga saat berdialog tadi meminta mereka untuk membuatkan surat resmi ke DPRD sehingga kami bisa melaksanakan rapat internal untuk kemudian bisa mengundang mereka,” papar Lumiu.
Lebih lanjut dirinya menjelaskan jika aksi yang terjadi di gedung DPRD Sangihe kali ini juga sudah disampaikan ke Pimpinan DPRD dan menurut dia, Pimpinan telah meminta agar masa aksi dapat bersurat secara resmi.
“Jadi, saran dari Pimpinan yakni menyurat dulu ke DPRD sebagai lembaga, sehingga kemudian bisa ditindaklanjuti sesuai mekansime kelembagaan,” kuncinya.
(Gr)