7 Januari 1965: Malaysia Jadi DK, Indonesia Keluar dari PBB

LintasUtara.com – Peristiwa penting dan bersejarah bagi bangsa Indonesia terjadi pada 7 Januari. Tepatnya 56 tahun yang lalu atau pada tanggal 7 Januari 1965, Indonesia keluar dari PBB.

Presiden Soekarno saat itu menarik Indonesia keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai protes atas berdirinya Federasi Malaysia dan terpilihnya Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK) PBB.

Awal Indonesia Menjadi Anggota PBB

Indonesia resmi menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-60 sejak tanggal 28 September 1950, kurang dari 1 tahun setelah pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bunda di Den Haag.

Sebagai anggota PBB, Indonesia memiliki perwakilan tetap di pusat kantor PBB di New York, AS, yang pertama kali dijabat oleh putra asli Sulawesi Utara, Lambertus Nicodemus Palar, hingga tahun 1953.

Melansir dari Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI, Indonesia dan PBB sebetulnya memiliki keterikatan sejarah yang kuat karena selain sama-sama lahir di tahun 1945, dalam beberapa sengketa dengan negara lain, Indonesia menempuh jalur diplomasi melalui PBB.

Misalnya, pada saat Agresi Milter Belanda I di Indonesia, yang diusulkan untuk dibahas dalam Sidang Umum PBB sehingga kemudian Indonesia dan Belanda dipertemukan di meja perundingan Renville. Kemudian, saat Agresi Militer Belanda II, PBB kembali memfasilitasi penyelesaian sengketa antara Indonesia-Belanda melalui perundingan Roem Royen.

Setelah bergabung dengan PBB, Indonesia juga pernah membawa sengketa Irian Jaya ke PBB tahun 1954 hingga akhirnya pada Sidang Majelis Umum PBB ke-17 tahun 1962, PBB mengeluarkan Resolusi No. 1752 yang diadopsi dari “The New York Agreement”.

Melalui resolusi ini , PBB memberikan mandat kepada United Nations Executive Authority (UNTEA) untuk melakukan transfer kekuasaan Irian Jaya dari Belanda ke Indonesia.

Konfrontasi dengan Malaysia dan Indonesia Keluar dari PBB

Pada tahun 1962, Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia sebagai reaksi terhadap berdirinya Federasi Malaysia yang disokong Inggris, untuk menggabungkan Brunei, Sabah, dan Sarawak ke dalam wilayah kedaulatannya.

Pemerintah Indonesia dan Filipina yang juga terikat, baik secara ras dan budaya dengan wilayah itu menolak keinginan Federasi Malaysia, hingga akhirnya ketiga negara memiliki kesepakatan bersama melalui Persetujuan Manila atau Manila Accord pada pertengahan Juli 1963.

Persetujuan Manila adalah persetujuan antara Republik Indonesia, Federasi Malaysia dan Republik Filipina, terutama pada poin yang mengatur bahwa wilayah Sabah, Sarawak dan Brunei sebagai wilayah yang bebas berdasarkan prinsip penentuan nasib sendiri tanpa paksaan.

Indonesia dan Filipina saat itu setuju apabila keinginan Federasi Malaysia ini ditempuh dengan jalur referendum yang diawasi langsung oleh PBB.

Sekretaris Jenderal PBB U Thant pun membentuk tim penyelidik pada Agustus 1963. Namun, sebelum rencana referendum dilakukan dan penyelidikan PBB diumumkan, Federasi Malaysia dideklarasikan pada 16 September 1963, dengan klaim 4 wilayah federasi, yakni wilayah Persekutuan Tanah Melayu, Singapura, Sabah dan Sarawak.

Presiden Soekarno berang karena deklarasi tersebut adalah bentuk pelanggaran terhadap Persetujuan Manila.

Ditambah lagi, dalam demonstrasi di Kuala Lumpur pada 17 September 1963, demonstran menyerbu KBRI Indonesia, merobek-robek foto Soekarno bahkan membawa lambang negara garuda Pancasila ke hadapan Perdana Menteri Tuanku Abdul Rahma untuk diinjak-injak.

Akhirnya, Soekarno mengkampanyekan “Ganyang Malaysia” dan melalui Menteri Luar Negeri Soebandrio, pada 20 Januari 1964, Indonesia menyatakan bermusuhan dengan Malaysia.

Melalui perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora), perang gerilya pun berlangsung di Kalimantan, perbatasan Sabah dan Sarawak. Gerilyawan Indonesia juga berperang dengan rejimen Askar Melayu DiRaja di Selat Malaka yang berbatasan dengan Johor.

Hingga puncaknya pada 7 Januari 1965, Malaysia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK) PBB, yang membuat Indonesia memilih keluar dari PBB.

Pengunduran diri Indonesia dari keanggotaan PBB secara resmi diumumkan Presiden Soekarno pada tanggal 20 Januari 1965.

Indonesia Kembali Menjadi Anggota PBB

Setelah pergantian kepemimpinan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto, Pemerintah Indonesia mengubah sikap ke PBB dan memilki keinginan untuk bergabung kembali menjadi anggota.

Keinginan “untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB” disampaikan melalui pesan kepada Sekretaris Jenderal PBB pada tanggal 19 September 1966.

Dalam sidang Majelis Umum PBB pada tanggal 28 September 1966, Indoensia secara resmi diterima kembali sebagai anggota PBB.

(AM)

Bagikan:

Artikel terkait

Tinggalkan Komentar

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terpopuler

Peluang dan Tantangan Menjadi Kepala Daerah di Kabupaten Kepulauan Sangihe: Pilkada...

Suara Redaksi

Beri Pesan Tegas Usai Lantik Pj Kapitalaung, Thungari: Pemdes Denyut Utama...

Sangihe

Refleksi Hari Kartini: Juita Baraming, Perempuan Sangihe yang Menata Harapan Lewat...

Sangihe

Pahlawan Tanpa Sorotan: Dari Laut Talise, Nelayan Menjemput Nyawa Sebelum Negara...

Kolom

Dilema Angka Stunting Sangihe

Suara Sangihe

Terkini