PERHELATAN demokrasi melalui Pilkada serentak sudah di depan mata. Pada tanggal 9 Desember mendatang, dengan hak pilih yang masing-masing kita miliki, kita akan menentukan calon kandidat yang akan duduk di kursi nomor 1 dan 2 Sulut.
Masing-masing calon pun sudah mulai menyatakan visi, misi dan track record mereka kepada publik, baik secara digital maupun secara langsung, sehingga publik punya sedikit gambaran apa yang akan mereka lakukan setelah terpilih.
Mesin-mesin partai pun mulai bergerak secara maksimal untuk melaksanakan tugasnya dan masyarakat sudah mulai menunjukkan dukungan kepada ‘jagoan’ mereka yang nanti akan dipilih dalam Pilkada mendatang. Pihak Kepolisian juga telah menegaskan untuk mengawal Pilkada ini aman agar masyarakat dapat menggunakan hak pilihnya.
Inilah dinamika demokrasi yang membuat negara kita kuat, dimana adanya siklus kekuasaan yang menjadi ruh dari demokrasi, yang memberikan hak penuh kepada rakyat untuk memilih “tembonang’ (pemimpin), atau mengutip statement-nya Abraham Lincoln yang mengatakan ‘Dari Rakyat, Oleh Rakyat, dan Untuk Rakyat’.
Namun tentunya, kita tidak bisa menafikkan variabel lainnya yang kerap kali terjadi dalam Pilkada dengan berkaca dari Pemilu-pemilu sebelumnya, yang sarat dengan politik identitas, saling hujat dan ujaran kebencian.
Hal ini yang menjadi concern dalam perbincangan dengan teman-teman pemuda GMIST Oikumene Lesabe, yakni bagaimana mewujudkan Pilkada yang damai, dimulai dari memaksimalkan peran kelompok masyarakat dari area yang terkecil.

Tulisan ini pula muncul dari concern teman-teman pemuda terhadap dinamika politik yang sarat dengan gesekan-gesekan tersebut yang dapat menganggu harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegera.
Saya dan teman-teman pemuda lainnya, menilik Pilkada ini dari kaca mata area yang terkecil, yakni desa karena dalam dinamika politik, gesekan-gesekan terjadi bukan hanya pada tataran elit, namun pada tataran akar rumput dengan konsekuensi dampak psikologisnya yang berjangka panjang.
Sehingga kami punya suara yang sama, yakni mendukung pelaksanaan Pilgub Sulut 2020. Dukungan ini dilandasi dengan tetap menjaga soliditas di tengah perbedaan dan dukungan terhadap kerukunan bermasyarakat bahkan setelah pilkada berakhir.
Kendati suara ini kecil dan berasal dari Desa namun kami yakini harapan yang sama pun ada di benak pemuda lainnya, organisasi masyarakat dan masyarakat sendiri. Dengan suara dukungan dari area terkecil, maka pasti dapat bermultiplikasi dan menjadi sebuah gerakan yang lebih besar dan menjadi kesadaran kita bersama.
Perbedaan bukanlah pemisah, Bhineka Tunggal Ika, biar kita berbeda tapi kita tetap satu.
Penulis: Crisnal Lahipe.