Pada akhir tahun ‘50-an, berlangsung dua proses: Pertama, tumbuhnya kelompok kaum kapitalis bersenjata yang, secara sosiologis, barisan depannya adalah Suharto. Menyebut Suharto, karena kelompoknya lah, sepanjang yang bisa ditemukan, yang pertama-tama memiliki bank dan perusahaan ekspor-impor sendiri, serta yang menjalin kontak-kontak luar negerinya sendiri, seperti dengan Malaysia.
Kedua, semakin tersingkirnya kepemimpinan tentara yang cenderung ingin
membebaskan diri dari kepemimpinan politik para pengusaha (dan para pendukungnya) yang lemah dan terpecah-belah. Nasution dan lainnya mulai mengklaim KEPEMIMPINAN POLITIK atas negeri ini. Perwira tentara seperti Nasution tidak lah bermaksud membuat negara mandiri, akan tetapi ingin diterima sebagai pemimpin politik oleh kekuatan-kekuatan sosial sejenis yang didukung oleh partai-partai konservatif unggulan.
Oleh karena itu, di masa Orde Baru, ia lebih dekat hubungannya dengan partai-partai lama pro-kapitalis tak bersenjata, ketimbang dengan para kaum kapitalis yang berasal dari kerabat dekat pelaku-pelaku utama yang telah mengambil alih kekuasaan konstitusional Sukarno sebagai Presiden pada tahun 1965-1966.
Kembali pada masa itu, kedua hal tersebut menciptakan tekanan kepada Angkatan Bersenjata agar mewakili kepentingan kekuatan-kekuatan tradisional konservatif. Tapi, Angkatan Bersenjata berada dalam posisi yang tidak mampu berjuang sendiri dalam menghadapi oposisi kaum demokrat-radikal. Mereka malah bersaing dengan kepemimpinan tradisional konservatif, yakni partai-partai yang terpecah-belah dan tak berkemampuan. Yang jelas, mereka juga tak bisa bersekutu dengan gerakan buruh-tani. Situasi tersebut membawa mereka masuk ke dalam aliansi dengan Sukarno.
Faksi Soeharto, dengan kekuatan KOSTRAD-nya, berhasil mengambil-alih kepemimpinan dalam operasi kontra gerakan. Momentum yang berhasil diambil ini kemudian bisa dipertahankan oleh Soeharto, yakni dengan cara memainkan sekutu-sekutu sipilnya (termasuk demonstrasi-demonstrasi mahasiswa pada tahun 1966, melalui kelompok karya yang kemudian menjadi Golkar sekarang) dalam mensukseskan pembantaian jutaan rakyat Indonesia
Penggulingan Soeharto dan Reformasi (Total) yang Dikhianati
Gerakan rakyat bangkit kembali. Hanya setelah kurang dari 10 tahun, tepatnya tahun 1974, kekuatan Orde Baru sudah kehilangan keabsyahannya di mata rakyat, sejuta lebih rakyat turun ke jalan menolak dan melawannya; atau, mereka yang sadar, bahwa betapa mudahnya upaya pengembangan demokrasi dan modernisasi digagalkan tentara, bergerak lagi menolak dan melawan Orde Baru. Dan mengalami KEGAGALAN.
Namun, 4 tahun kemudian, gerakan tahun 1978 bergerak lagi melawan dan menohok langsung kekuasaan Orde Baru. Dan, gerakan tahun 1978, sekali lagi, selesai dengan kegagalan. Seperti habis gelap yang tak pernah terang; saat kaum muda tahun 1980-an dan 1990-an bergerak lagi. (Namun, kebekuan ini patut dimaklumi, karena keberhasilan menghancurkan gerakan MALARI ‘74 dan gerakan mahasiswa ‘78, dianggap oleh rejim Orde Baru sebagai moment konsolidasi bagi mereka untuk lebih konsisten dalam menindas oposisi, baik dalam bentuk ideologi penindasnya, pembangunan; P4; demokrasi Pancasila; demokrasi Timur; demokrasi terbatas; demokrasi bertanggungjawab; demokrasi bukan liberal bukan komunis; musyawarah mufakat bukan voting; kekeluargaan; gradualisme;kesederhanaan; tepo seliro, dan lain sebagainya, maupun dalam bentuk struktur politik penindasnya, perluasan struktur intelejen; perluasan dualisme struktur dwifungsi ABRI; korporatisme/integralisme terhadap seluruh sektor masyarakat; cengkraman lebih dalam terhadap birokrasi pegawai negeri dan dunia pendidikan/akedemis; syarat-syarat hidup yang lebih ketat terhadap media massa. Selain itu juga kebekuan tersebut juga diakibatkan karena sogokan beberapa tahun saja hasil boom minyak.)
Kebekuan ini membuat gelisah kaum muda. Kaum muda tahun 1980-an dan tahun 1990-an, mereka yang menerima keyakinan demokrat-radikal ini-lah yang setahap demi setahap mampu membuka ruang demokrasi dengan AKSI MASSA. Sehingga AKSI MASSA mulai diterima secara meluas ke segala sektor masyarakat sebagai ALAT perjuangannya.
Gerakan kaum muda ini lah yang sanggup membuka peluang dijatuhkannya Soeharto, elit-elit politik. Dan partai politik “terkemuka” hanya lah menjadi benalu tak tahu malu, jangan kan menyerukan bergabungnya kaum muda dalam pemerintahannya, berterima kasih pun tidak, bahkan secangkir teh manis pun tak mereka suguhkan saat mereka, kaum muda pemberani, berada dalam penjara Orde Baru.
Setelah kejatuhan Soeharto, terbukalah ruang yang lebih luas bagi peserta-peserta politik “terkemuka” untuk memanipulasi kesadaran palsu massa, namun keterbukaan itu sendiri mulai memecah dukungan massa pada manipulator-manipulator lainnya (misalnya, dukungan bukan saja didekasikan rakyat pada satu partai tapi juga pada partai lainnya)
Namun, bersamaan dengan itu juga, agitasi-propaganda untuk menyadarkan rakyat atas kebobrokan elit politik pimpinannya, sehingga rakyat memperoleh kesadaran sejatinya, memiliki potensi, dihadapkan pada permasalahan lain. Penindasan pemerintahan Megawati dan sekutu-sekutunya, dan juga silih berganti kekuasaan ditapaki oleh elit politik di negeri ini, dan silih berganti pula kegagalan dan kepahitan harus ditelan. Kegagalan dalam mengenyahkan sisa-sisa kekuatan lama (Orde Baru); kegagalan dalam mengkukuhkan sistem masyarakat dan ketatanegaraan baru; dan kegagalan menghasilkan kebijakan yang bisa mensejahterakan rakyat, bebas dari penghisapan/penindasan kaum modal serta militerisme.
Perubahan politik pada tahun 1998, pada dasarnya, atau seharusnya, merupakan perubahan untuk menghancurkan sistim kediktatoran, untuk mendirikan sistem yang demokratis.
Kelompok sosial manapun yang, pada masa Orde Baru, tak memiliki kejahatan, atau tidak turut serta dalam struktur kekuasaan, baik secara ekonomi maupun secara politik, punya kepentingan terhadap perubahan tersebut, yang dengan ideologi dan program-programnya, dalam derajat tertentu, mendapat persetujuan dari rakyat.Kenyataannya sekarang adalah: sisa kediktatoran tetap berdiri semakin kokoh dan kesejahteraan rakyat justru makin merosot.
Penyebabnya:
pertama, faktor historis kelemahan elit politik Indonesia yang pengecut, oportunis, dan plin plan, sehingga reformasi (total) tak sampai ke tujuannya. Apa yang mereka sisakan sekadar ketidapuasan dan keresahan rakyat.
Kedua, kelemahan subyektif gerakan demokrasi yang, walaupun dalam kadar tertentu, telah memiliki kesadaran yang lebih maju dalam menyikapi Orde Baru, namun tak sanggup merebut dan membangun alat-alat politiknya, terutama organisasi persatuan (front), untuk menyebarkan kesadaran maju secara massal kepada rakyat, sehingga mampu membongkar propagadanda palsu dari elit politik “terkemuka”. (red)