Revolusi Agustus 1945
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta, yang masih ragu-ragu pada kehendak merdeka rakyat Indonesia, berhasil dipaksa oleh kaum muda untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Kemerdekaan dimungkinkan karena adanya kekosongan kekuasaan, yang disebabkan oleh kekalahan Jepang dalam PD II, sementara pasukan sekutu belum datang.
Momentum kekosongan kekuasaan politik negara ini yang membuat proklamasi bisa dibacakan, berkat inisiatif dan keberanian dari kaum muda. Proklamasi pada tahun 1945, juga didasari pada patriotisme bahwa kemerdekaan tidak lah boleh sebagai pemberian dari Jepang atau hadiah dari Sekutu, tapi berkat kepemimpinan dari para pejuang kemerdekaan Indonesia.
Namun, Revolusi pembebasan nasional tahun 1945-1949 ternyata gagal menghasilkan demokrasi yang sejati bagi rakyat. Hal ini disebabkan karena kekuatan rakyat yang diorganisir oleh kaum demokrat-radikal gagal mengambil kepemimpinan dalam perjuangan pembebasan nasional. Revolusi Agustus 1945-1949 memang berhasil mengusir kekuatan fasis Jepang dan menghalau si penjajah Belanda, yang berusaha untuk menjajah kembali dengan bantuan sekutu (melalui tangan Inggris).
Dan, sebenarnya, pada masa-masa ini lah, dengan diawali perang rakyat 10 November 1945, terbukti bahwa kehendak rakyat untuk merdeka bisa diwujudkan dalam bentuk perlawanan rakyat semesta yang radikal dan militan. Namun, lagi-lagi elit politik mengkhinati rakyat, sekutu perjuangan paling terpercaya: melicinkan jalan menuju persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 2 November,1949.
Dengan adanya persetujuan KMB, penjajah Belanda memperoleh konsesi di lapangan ekonomi, politik, militer, dan kebudayaan.
Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia: Penumpulan Kekuatan Rakyat
Gerakan rakyat bangkit kembali. Dalam periode 1950-1960-an, kekuatan rakyat mengalami perkembangan yang signifikan. Adu argumentasi dan mobilisasi, aksi-aksi massa dan rapat-rapat akbar, semakin mempolarisasikan kekuatan-kekuatan politik ke dalam dua kubu; pro dan anti penjajah (dalam bentuk baru, imperialisme).
Dalam adu argumentasi dan mobilisasi, kekuatan pro-penjajah tak mampu menandingi kekuatan anti-penjajah, merasa pasti kalah, sehingga mereka mengandalkan kekuatan tentara, yang, dalam menyelesaikan adu kekuatan tersebut hanya memiliki rumus: represi dan penindasan.
Apalagi, fungsi parlemen berhenti saat dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli, 1959. Namun, pada hakekatnya, peristiwa tersebut merupakan pertanda ketidakmampuan elit politik dalam memanfaatkan Trias-Poltika dan kegagalan menciptakan mesin-mesin politik rakyat yang sejati, yang mampu menjadi wadah, alat untuk meningkatkan kesadaran dan mobilisasi rakyat.
Saat itu, mesin-mesin politik elit takluk di hadapan aparat dan birokrasi warisan kolonial yang bernama tentara. Ia merupakan puncak dari akumulasi kekuatan tentara. Celakanya, tentara Indonesia, yang lahir dari kandungan rakyat, berhasil dikooptasi oleh pimpinan-pimpinan tentara regular yang berlatarbelakang KNIL (bentukan Belanda) dan PETA (bentukan Jepang).
Penjajahan Bentuk Baru, Imperialisme!
Sehubungan dengan campur tangan kaum imperialis,sejarah Indonesia memiliki aspek yang unik. Perang Dunia II menghancurkan signifikansi posisi Belanda sebagai negeri imperialis. Jepang tak hanya sekadar menduduki Indonesia,tapi juga menghancurkan basis modal ekonomi dan hegemoni politik Belanda,terlebih-lebih negeri Belanda sendiri diduduki Jerman dan dijadikan ajang peperangan.
Belanda tak bisa memulihkan martabat politiknya di Indonesia,walalupun ia turut serta dalam peperangan melawan Jepang. Walhasil,setelah kemerdekaan, kehadiran kepentingan ekonomi Belanda belum bisa dipulihkan sepenuhnya, tak terdapat dominasi mutlak ekonomi Belanda terhadap Indonesia.
Apalagi, pada tahun 1957-58, kehadiran ekonomi Belanda mutlak amblas digulung gelombang nasionalisasi, yang oleh Sukarno celakanya hasil-hasil nasionalisasi tersebut diserahkan pada tentara. Dan, saat itu, apa pun penyebabnya, kehancuran ekonomi Belanda di Indonesia tak digantikan oleh dominasi ekonomi neo-kolonial Inggris atau pun Amerika.
Sementara itu, karena ketidakmampuannya untuk bersaing, Indonesia sendiri tak bisa memanfaatkan ruang yang tersedia baginya. Sebagai negeri yang baru merdeka, Indonesia hanya memiliki pengusaha (atau tuan tanah) yang secara ekonomi dan politik lemah.
Disamping itu, tak ada pengusaha asing yang secara ekonomi dan politik dominan. Walaupun Indonesia merupakan bagian Dunia Ketiga yang dikuasai dan diperas oleh sistim imperialis, sebagaimana juga negeri-negeri Dunia Ketiga lainnya; akan tetapi kaum imperialis tak memiliki agen, apakah itu boneka atau pun sekutu, yang ampuh di negeri ini.