Sangihe, Lintasutara.com – Ketua Pelka Laki-laki GMIST Jabes Ezar Gaghana memimpin ibadah Jumat Agung di jemaat GMIST Horeb Belengang, Jumat (02/04/2021).
Membuka khotbah yang dibawakan terkait penghayatan akan kematian Yesus Kristus, Gaghana menyebutkan jika seyogianya memikul Salib bukanlah sebuah beban bagi manusia, melainkan sebuah nilai nan berharga yang harus dihadapi dengan sukacita, seperti yang dialami Simon dari Kirene.
“Dengan turut memikul salib ia (Simon, red) mendapatkan nilai yang berharga dan sukacita karna kehidupan rumah tangganya, istri dan anak-anaknya diberkati dan mereka sekeluarga menjadi pembawa berita keselamatan,” sebut Gaghana, ketika membawakan khotbah yang diambil dari pembacaan Alkitab Matius 27 ayat 32 hingga 44.
Namun, lanjutnya tak bisa dipungkiri jika terkadang orang Kristen pun seringkali menghindari Salib dan lebih memilih untuk hidup dalam zona nyaman yakni kehidupan yg tidak ada beban, tidak ada masalah, bahkan tidak ada tantangan.
“Ketika kita menghadapi gumul dan tantangan dalam kehidupan pribadi, keluarga, bahkan Gereja, acapkali kita lebih cepat menyalahkan orang lain, lantas kita menempatkan gumul tantangan Itu hadir sebagai salib dalam proses hidup kita,” lanjutnya.
Pada kesempatan tersebut, lelaki yang juga selaku Bupati Kepulauan Sangihe inipun menceritakan kisah pilu hidupnya ketika masih berada di Lombok dalam peristiwa pengejaran kaum Kristen hingga pembakaran rumah dan Gereja yang dirinya alami, hingga kepindahannya dari Lombok ke Manado, hingga pengabdiannya di tanah kelahirannya, Sangihe.
Diceritakannya, ketika dirinya masih berada di Lombok pada 17 Januari berapa tahun lalu, tepatnya pada hari minggu sore, dirinya sempat didatangi oleh intel yang memintanya pindah bersama Istri dan anaknya, serta 2 keluarga Pendeta, imbas kemungkinan kekacauan yang akan terjadi.
Kejadian dimaksud pun terjadi seperti yang diinformasikan pada hari Senin, sehingga dirinya kembali dihubungi untuk lari ke bali.
“Kami ke Bali menggunakan kapal pesiar. Saat itu saya hanya membawa tas tangan, dan yang ada hanya cek. Saya memohon kepercayaan dari pembawa kapal, dan kemudian membayar kapal berisi kami 30 orang dengan selembar cek,” cerita Gaghana yang kala itu masih menjadi pengusaha di Lombok.
Kisah haru perjalaan hidupnyapun berlanjut setibanya ia di Manado dengan segala kekurangan yang dirinya bersama keluarga alami. Di Manado, pria yang hari ini menjadi orang nomor satu Tampungang Lawo ini sempat ditawari untuk mengelola suatu perusahaan padahal di saat yang bersamaan juga diminta untuk menjadi pengurus partai.
Ternyata, lanjut Gaghana permohonan usaha yang ditawarkan padanya tidak kunjung keluar. “Ternyata Tuhan menginginkan hal yang lain,” sebut dia pasti, sehingga ia memilih kembali ke Sangihe hingga terpilih sebagai Pimpinan DPRD pada tahun 2004, dilantik menjadi Wabup pada tahun 2006, dilantik lagi pada posisi yang sama pada tahun 2011 lantas dipercayakan masyarakat Sangihe menjadi tembonang (Baca : Pimpinan) Kabupaten di teras utara NKRI ini pada tahun 2017.
“Kami sadari bahwa itu proses bagi kami. Sekalipun pada saat Itu kami belum mengerti maksud Tuhan, tapi kami bersyukur, bergumul dan mendoakan segala proses yang harus kami alami Itu,” kenang Gaghana, sembari bersyukur karena ternyata pada saat itu, tidak ada korban umat Kristen, bahkan ketika rumah dan kantor di sekitar rumahnya dibakar, rumahnya yang hari ini telah diserahkan menjadi pastori gereja, memiliki cerita yang berbeda.
“Jika kita mengikuti napak tilas kesengsaraan Yesus, dapat dikatakan jika peristiwa di Golgota bukan akhir dari segalanya, karena dari peristiwa itu, munculah harapan yang baru,” tandas pria yang akrab disapa Ara Jabes ini.
Kembali pada pokok perenungan, dirinya menyentil peristiwa ketika Kristus ditawari untuk mengecap anggur bercampur empedu untuk mengurangi rasa sakit. Pada saat itu, Yesus menolaknya; dalam penafsiran bahwa Ia ingin menunjukan jika proses penderitaan yang dialaminya benar-benar murni yang Allah karuniakan untuk Ia alami.
“Yesus tidak harus mengurangi rasa sakit yg harus Ia tanggung. Itulah karya penebusan nan mahal yang tidak terselami oleh manusia. Kematian Yesus di atas kayu salib sifatnya cuma-cuma namun sangat berkualitas. Dan dari sana kita mendapatkan nilai yang sangatlah berarti dan tidak tergantikan,” pesannya.
Dalam konteks kehidupan nyata, figur dengan banyak pengalaman inipun menekankan jika sudah menjadi hal lumrah ketika manusia menerima cemooh, penghinaan, fitnah bahkan omelan ketika menjadi majelis, sebagai pengurus pelka, bahkan selaku jemaat sekalipun.
Maka dari itu, dirinyapun berpesan agar ketika mengalami proses dimaksud, kaum Nasrani tidak perlu membalas dengan kejahatan serupa. Sebaliknya, jalan terbaik yang harus diambil pengikut Kristus yakni mendoakan. Meskipun faktanya menimbulkan rasa sakit dengan proses nan panjang, tetapi atas semua Itu Tuhan pasti mempunyai rencana yang indah.
“Kita Selamat dan beroleh berkat-berkatnya bukan karena kita memberi, bukan karena apa yang telah kita lakukan, bukan kekuatan dan kemampuan kita manusia, namun karena Tuhan telah mati dan telah bangkit untuk kita,” pesan Gaghana, sembari mengajak jemaat agar ketika mengalami peristiwa salib dalam kehidupan sehari-hari, tidak sampai terjebak dan menyalahkan orang lain.
“Respon itu dengan ucapan syukur, karena Allah sedang berencana dan mengerjakan karya ajaibNya dalam hidup kita. Percaya dan serahkan sepenuhnya kehidupan kita kepada Yesus yang Tersalib, mati dan bangkit bagi kita,” ajak JEG, menutup khotbahnya.
(Gr)