Penulis: Emon ‘Kex’ Mudami
Laut Talise, Sulawesi Utara — Hari itu seharusnya berjalan biasa. Matahari Sulawesi Utara bersinar hangat, dan gelombang laut Talise mengalun tenang.
Sekitar pukul tiga sore, langit belum berubah warna, namun dari kejauhan tampak garis asap mencuat ke langit biru. Asap itu bukan dari dapur rumah warga. Bukan pula dari aktivitas pembakaran lahan. Itu asap dari laut — dan bagi para nelayan pesisir, itu pertanda buruk.
Yang terbakar adalah KM Barcelona, sebuah kapal penumpang antarpulau. Api menyebar cepat di geladak, dan penumpang panik. Jeritan terdengar hingga ke perahu yang melaut di kejauhan.
Ada yang melompat ke laut, ada yang berpegangan pada pelampung seadanya. Sinyal darurat belum tiba di ponsel siapa pun di darat. Namun sebelum radio komunikasi berbunyi, insting warga pesisir bergerak lebih dulu.
Laut yang Lebih Dulu Bicara
Di desa Gangga, Bangka, Talise, dan sebagian Likupang, para nelayan tidak butuh sirene untuk tahu ada sesuatu yang salah. Mereka membaca laut seperti membaca tubuh sendiri.
Asap hitam dan gerakan tidak biasa di cakrawala cukup jadi sandi: ada nyawa dalam bahaya.
Tanpa baju pelampung, tanpa perintah dari siapa-siapa, mereka nyalakan mesin perahu dan arahkan haluan ke lokasi asap. Yang lain ikut. Seperti percikan api yang menular, dari satu desa ke desa lain, nelayan dan warga sekejap siaga.
Mereka yang Menjemput Jeritan
Di lokasi kejadian, kapal sudah dalam kondisi terbakar parah. Penumpang berhamburan ke laut. Gelombang yang biasanya tenang kini membawa manusia.
Anak-anak, ibu-ibu, orang lanjut usia, semua terapung, terombang-ambing dengan napas pendek dan tubuh gemetar. Sebagian tak bisa berenang, hanya berpegangan pada papan atau tas mengambang.
Dan saat itulah perahu-perahu kecil milik rakyat pesisir tiba — jauh sebelum bantuan resmi datang.
Para nelayan memecah air dengan sigap. Mereka menarik satu per satu korban naik ke perahu. Beberapa menenangkan dengan bahasa lokal: “Tenang jo, kita aman ini, pegang baik-baik.”
Ada yang menangis, ada yang hanya bisa menatap kosong. Tapi mereka masih hidup — dan itu cukup. Di tepi pantai, warga desa sudah bersiap. Perempuan menyambut dengan air minum, baju kering, bahkan sop panas. Rumah-rumah dibuka untuk para korban. Dada rumah sempit dijadikan pos darurat.
Yang Tak Tertulis dalam Berita
Namun ketika malam datang dan berita mulai tersebar, narasi berubah. Sorotan publik dan media tertuju pada instansi penyelamat, tim tanggap bencana, dan aparat.
Mereka yang datang dengan pelampung dan ambulans disorot kamera. Mereka penting — tidak diragukan. Tapi siapa yang datang duluan? Siapa yang mengangkat korban pertama dari laut? Nama-nama nelayan Talise tak disebut.
Rekaman heroisme mereka surut. Bahkan dalam laporan resmi, mereka nyaris tak tercantum. Bahkan saat aparat datang, para nelayan masih bertahan di lokasi, membantu menuntun kapal resmi masuk ke lokasi api, menunjukkan arus laut, bahkan menunjukkan titik korban terakhir ditemukan.
Namun karena mereka tidak berseragam, tak membawa ID resmi, mereka tetap dianggap ‘pembantu teknis’, bukan ‘penyelamat utama’.
Laut Tidak Pernah Lupa
Peristiwa ini membuka kembali luka lama tentang bagaimana peran komunitas lokal kerap dipinggirkan dalam narasi besar bencana.
Nelayan dan warga pesisir adalah mereka yang paling dekat dengan medan, paling cepat merespons, tapi paling jarang diakui. Mereka tidak punya konferensi pers. Tidak ada juru bicara. Tapi mereka punya nyali, naluri, dan nilai gotong royong yang tidak diajarkan di sekolah manapun.
Kini, Laut Talise menjadi saksi. Ia tahu siapa yang pertama kali menjemput korban. Ia tahu siapa yang berenang tanpa pelampung demi satu anak kecil yang hampir tenggelam.
Ia tahu siapa yang membuka rumah tanpa ditanya, siapa yang memberi makan dari dapur sendiri.
Menulis Ulang Narasi Penyelamatan
Perlu ada keberanian untuk menyebut nama-nama yang tidak sempat masuk daftar. Keberanian untuk menempatkan nelayan, ibu desa, dan pemuda lokal di barisan depan narasi penyelamatan.
Bukan untuk menggeser peran institusi, tapi untuk memberi keadilan pada mereka yang benar-benar bergerak paling awal. Pahlawan tidak selalu datang dengan tandu. Kadang mereka datang dengan dayung dan tali tambang.
Dan bagi banyak korban, yang pertama mereka lihat ketika meregang di lautan bukanlah pelampung resmi — tapi tangan kasar nelayan yang menjangkau mereka dari kematian.
Laut Talise telah menyimpan luka dan kebanggaan ini. Kini giliran kita menuliskannya.
Catatan Penutup
Tulisan ini adalah upaya kecil untuk menghormati peran besar kelompok tradisional pesisir dalam bencana kebakaran kapal Barcelona. Bukan hanya sebagai penyelamat teknis, tapi sebagai penjaga nilai kemanusiaan yang paling dasar. Di Laut Talise, mereka menyelamatkan bukan karena perintah, tapi karena panggilan hati.