Sangihe, Lintasutara.com – Di tengah gelombang perubahan zaman yang semakin pesat, tradisi lama kerap terlupakan, tergilas oleh arus modernisasi. Namun, di Kabupaten Kepulauan Sangihe, ada secercah harapan untuk menghidupkan kembali sebuah tradisi penuh makna yang terhubung erat dengan alam, yaitu Kaehe Buresi. Tradisi ini merupakan bentuk gotong royong masyarakat dalam membersihkan halaman rumah setiap Sabtu, yang kini dikenal sebagai Sabtu Bersih.
Sejarah mencatat, Kaehe Buresi adalah cerminan dari kearifan lokal masyarakat Sangihe dalam menjaga kebersihan lingkungan sekaligus mempererat solidaritas antarwarga. Dalam bahasa lokal, kaehe berarti hari sabtu, sedangkan buresi bermakna bersi (Sabtu bersih) dilakukan bersama-sama. Filosofinya sederhana namun mendalam: menjaga kelestarian lingkungan tidak bisa dilakukan sendiri, melainkan harus melalui kebersamaan.
Sayangnya, tradisi ini sempat mengalami kemunduran. Arus modernisasi dan perubahan gaya hidup membuat Kaehe Buresi perlahan-lahan menghilang dari kehidupan masyarakat. Generasi muda pun banyak yang tidak mengenal nilai luhur di balik tradisi ini.
Namun, harapan untuk melestarikan kembali Kaehe Buresi muncul seiring dengan perayaan ulang tahun Kepulauan Sangihe yang ke-600 tahun. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe, melalui berbagai inisiatif, mulai menggalakkan dan mengaktifkan kembali tradisi ini. Pada Sabtu, 18 Januari 2025, gerakan ini resmi dimulai kembali dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat, mulai dari pemerintah daerah, tokoh adat, hingga generasi muda.
“Kami ingin tradisi ini kembali menjadi cara hidup masyarakat Sangihe,” ujar Albert Huppy Wounde, Penjabat Bupati Kepulauan Sangihe. “Ini bukan sekadar tentang membersihkan lingkungan, tetapi juga tentang membangun kesadaran bersama akan pentingnya menjaga alam.” Lanjutnya.

Momentum Sabtu Bersih kini dipenuhi semangat kebersamaan. Warga keluar dari rumah mereka dengan membawa sapu lidi, sekop, dan peralatan kebersihan lainnya. Tidak hanya halaman rumah, fasilitas umum seperti jalan desa, lapangan, hingga pantai juga menjadi fokus dari kegiatan ini. Anak-anak hingga orang tua turut ambil bagian, menciptakan suasana yang hangat dan penuh keakraban.
Bagi masyarakat setempat, Kaehe Buresi bukan hanya sekadar aktivitas fisik. Tradisi ini juga mengandung nilai spiritual yang mendalam. Ada keyakinan bahwa membersihkan lingkungan akan mendatangkan berkat dan keseimbangan hidup. Sebuah pelajaran penting bagi generasi sekarang, bahwa menjaga hubungan harmonis dengan alam adalah kunci untuk masa depan yang berkelanjutan.
Pemerintah daerah berharap, tradisi ini tidak hanya menjadi kegiatan tahunan tetapi menjadi kebiasaan yang terus hidup dalam masyarakat. “Kami ingin masyarakat Sangihe kembali melihat bahwa tradisi ini adalah bagian dari identitas mereka,” tambah Wounde.
Dengan dihidupkannya kembali Kaehe Buresi, Kepulauan Sangihe memberikan contoh nyata bagaimana kearifan lokal dapat menjadi solusi untuk tantangan modern, terutama dalam menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan. Tradisi ini mengingatkan kita semua bahwa perubahan besar dapat dimulai dari langkah kecil, seperti menyapu halaman rumah bersama pada Sabtu pagi.
Kembali hidupnya Kaehe Buresi menjadi sebuah optimisme baru bagi masyarakat Sangihe. Sebuah tradisi yang nyaris terlupakan kini kembali menjadi simbol kebersamaan dan cinta lingkungan. Di tengah ancaman perubahan iklim dan kerusakan alam, Kaehe Buresi adalah pesan dari masa lalu yang relevan untuk masa depan.
(Tim)