Refleksi 79 Tahun Indonesia Merdeka: Marore Kabupaten Sangihe Perbatasan ‘Dianaktirikan’ Haruskah Menanti Gejolak?

Hari ini 79 tahun yang lalu para bapak bangsa mendeklarasikan negara ini merdeka dari penjajahan.

Perjalanan menyatukan garis putus antar pulau dilakukan dengan keringat darah para pejuang hingga kita mendapat validasi sebagai sebuah negara. Namun perjalanan setelah menjadi negara merdeka sama sulitnya dengan merebut dan mendeklarasikan kemerdekan terlepas dari dinamika yang terus menggelinding atas kemerdekaan yang nikmati pada waktu itu.

Tak terasa, dialektika perjalanan Republik ini menginjak usia ke- 79 tahun yang kita rayakan dengan berbagai bentuk euporia seremoni, menghabiskan biaya tidak sedikit dari uang rakyat termasuk kita di Provinsi Sulawesi Utara lebih khusus kita di wilayah perbatasan paling Utara Indonesia.

Jalan mengisi kemerdekaan sejak dideklarasikan telah dilakoni bangsa memiliki sebutan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini, dari masa dan orde hingga hari ini dengan program ambisius ‘Indonesia Emas 2045’. Pemerataan pembangunan seluruh republik pun menjadi program prioritas sejak Joko Widodo dilantik menjadi Presiden negara maritim ini guna menghilangkan citra ‘Jawa Sentris’ hingga sebutan pulau terluar dipermanis menjadi pulau dan garda terdepan, etalase serta wajah Indonesia.

Tidak hanya itu, Program Nawacita, membangun dari pinggiran begitu lantang digemakan seperti memberi harapan dan vitamin untuk imunitas bagi daerah perbatasan agar menjadi ‘perkasa’ mencerminkan wibawah negara melalui pintu masuk dengan pesan agar bangsa lain tidak memandang remeh negara berpenduduk 270 juta jiwa ini.

Lantas, program sangat mulia membagun dari pingiran serta merubah, mendandani wajah perbatasan sebagai pintu masuk agar terlihat cantik, menggambarkan kekuatan ekonomi, politik dan keamanan sehingga disegani negara tetangga, apakah juga terlihat dan nampak di wajah pulau Marore Kecamatan Kepulauan Marore Kabupaten Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara sebagai perbatasan paling utara Indonesia?

Faktanya, bila dibandingkan dengan perbatasan Indonesia wilayah lain seperti Papua atau Kalimantan, Marore sangat memprihatinkan dari segala sektor. Wajah Pulau Marore tidak hanya kusam tetapi juga menderita penyakit kulit eksim dan infeksi parah hingga timbul bintik mengandung nanah, separah itu wajah Indonesia paling utara.

Maka, membangun dari pinggiran tidak lebih dari pepesan kosong dan retorika sorga telinga bagi wilayah yang hanya membutuhkan dua jam perjalanan ke negara tetangga Filipina ini. Sebagai pulau terluar. Maaf kita sebut saja pulau dan wajah terdepan seperti ‘bualan dan jualan’ para elit negeri (he..he…he..). Infrastruktur dasar dan paling urgen seperti pelabuhan laut yang menjadi nadi dan nyawa pulau Marore sebagai lalulintas dan pasokan bahan pokok agar masyarakat pulau Marore dapat bertahan hidup kondisinya pun begitu menyedihkan, dari total panjangnya hanya separuh yang fungsional sebab mengalami kerusakan.

Perspektif Geopolitik Marore sebagai beranda terdepan daerah maritim dikelilingi laut dengan potensi perikanan dan kekayaan laut memilki nilai geopolitik signifikan dalam konteks global sehingga rentan terhadap kejahatan seperti ilegal fishing dan klaim dari negara tetangga Filipina mengingat nilai history begitu kental hubungan emosional antar wilayah dan populasi.

Tidak hanya itu, tantangan geopolitik datang dari ancaman keamanan sebagai daerah lintas batas dengan potensi kerawanan perdagangan gelap senjata api ilegal, orang, narkoba dan teroris. Dan perairan Marore dianggap jalur paling aman strategis oleh pelaku kejahatan transnasional ini.

Anehnya, dengan potensi ancaman keamanan begitu tinggi, Marore sebagai beranda terdepan hanya memilki pos keamanan dan Stagas perbatasan yang diisi oleh beberapa orang prajurit dengan perlengkapan ekosistem dan infrastrukur persenjataan seadanya. Lebih menyedihkan lagi jaringan internet dan telekomunikasi seperti hidup enggan mati tak mau menjadi cerminan perbatasan, pembatasan dan dibatasi.

Pj Bupati Sangihe saat mengunjungi Pulau Marore (ts)

Kondisi menyedihkan perbatasan sebagai etalase paling utara negara besar ini pun telah disaksikan langsung oleh Pj Bupati Sangihe sekaligus pejabat berasal dari pusat negara, Albert Huppy Wounde.

“Marore ini dianaktirikan padahal posisi geopolitiknya sangat starategis dengan history perbatasanya,” kata Wounde kepada awak media dalam kunjungan kerjanya di daerah perbatasan beberapa waktu lalu.

Tentu, masyarakat penjaga perbatasan sebagai etalase paling depan bangsa ini sangat berharap, Presiden Joko Widodo maupun penerusnya Prabowo Subianto dapat memperhatikan Marore sebagai perbatasan. Ataukah beranda paling utara ini harus bergejolak terlebih dahulu seperti saudara kami di Papua dan daerah lain baru diperhatikan?

Dirgahayu Negeriku!

(ts)

Bagikan:

Artikel terkait

Terpopuler

Peluang dan Tantangan Menjadi Kepala Daerah di Kabupaten Kepulauan Sangihe: Pilkada...

Suara Redaksi

Beri Pesan Tegas Usai Lantik Pj Kapitalaung, Thungari: Pemdes Denyut Utama...

Sangihe

Pahlawan Tanpa Sorotan: Dari Laut Talise, Nelayan Menjemput Nyawa Sebelum Negara...

Kolom

Refleksi Hari Kartini: Juita Baraming, Perempuan Sangihe yang Menata Harapan Lewat...

Sangihe

Dilema Angka Stunting Sangihe

Suara Sangihe

Terkini