Ada Alfred di Pentas Kami

Alfred

Lukisan Alfred Pontolondo datang setelah kami selesai berlatih tapi tidak di luar proses. Tentu saja gagasan soal semacam lukisan di latar belakang set sudah ada sejak kami masih berlatih. Lalu Alfred melintas di benak, lalu kami berurusan dengan museum Dinas Kebudayaan Sulut tempat Alfred berkarya, lalu kami bertemu sang pelukis, lalu lukisan Alfred menjadi bagian dari gagasan pentas Belajar Melipat Kertas (BMK).

Kenapa Alfred?

Pertama, BMK bukan karya yang sudah selesai sebagai proses ketika latihan selesai. Hingga beberapa hari, bahkan jam, sebelum berpentas, kami masih terbuka untuk berubah. Mengganti, menghilangkan, menambah dan seterusnya. Lukisan Alfred muncul dalam proses itu. Dari gagasan tentang foto hitam putih (yang tidak selalu berarti foto hitam putih) hingga jemuran baju serta jemuran foto dan seterusnya hingga kedua lukisan Alfred itu.

Kedua, sifat lukisan Alfred. Ironi, bahkan sarkasme, karikatural di satu sisi (lukisan menggigit wortel yang dipilihkan Alfred untuk kami). Hampir semua, jika tidak bisa dikatakan semua, lukisan Alfred memang seperti itu. Tepat pada sifat itulah aku melihat persilangan gagasan dengan BMK. Bukan sewujud gagasan kasar tentang ironi dan sarkasme tapi semacam persilangan konseptual dalam melihat realitas sebagai perwujudan karikatural dari kebenaran kebenaran baku.

Lalu sesuatu yang jelas terkait Nusa Utara (lukisan Bataha Santiago yang aku pilih sendiri pada malam usai Alfred mencoretnya di Taman Kesatuan Bangsa). Ada yang mestinya bersifat Nusa Utara dari pentas kami. Bukan sewujud Nusa Utara yang baku tapi semacam sublimasi dalam tubuh Poetri Pulumbara sebagai gadis Nusa Utara; sebentuk Nusa Utara dalam proses yang menubuh, milenial dan tak selesai. Maka bersilanglah itu dengan lukisan Bataha Santiago.

Ketiga, BMK sendiri adalah sebuah lukisan. Selalu aku katakan, sejak BMK masih berproses di tubuh Debora Maengko, bahkan jauh sebelum itu, pada pentas 2010 yang sunyi itu, aku katakan, aku ingin mencipta teater seperti Kandinsky mencipta lukisan. BMK aku pikir lebih aku lukis dengan semangat Bacon dan Basquiat yang menggunakan konseptualisasi ruang dan waktu ala Rothko. Lebih dari itu, ada peniruan tak setia yang mestinya begitu kentara atas karya Marina Abramovic “The Artist is Present” dalam pentas BMK.

Makanya, ketika banyak yang mengutip nama nama besar pemikir teater macam Artaud, Stanislavsky dan Brecht bagi pentasku, aku tertawa kingkong. Dari orang teater, aku hanya belajar pada Budi Otong, Didi Petet dan Yayu Unru. Selebihnya, teaterku digali dari dunia gagasan para perupa. Rothko, Malevich, Kandinsky, Warhol, Rauschenberg, Basquiat, Bacon, Kosuth, Beuys, Abramovic, untuk menyebut beberapa nama.

Sebagai penutup, ada seolah olah lukisan Kandinsky di lantai pentas kami dan itu mungkin dibaca kawan kawan teater sebagai hiasan yang tak penting. Alfred, kami yakin, tidak akan berpikir begitu. Sebagai perupa, dia mestinya akan membaca Rothko, Bacon dan Basquiat di pentas kami. Tapi mungkin itu tidak penting juga karena yang penting ada Alfred di pentas kami.

Tulisan ini sekaligus sebagai ucapan terima kasih kami kepada sang pelukis.

Bagikan:

Artikel terkait

Tinggalkan Komentar

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terpopuler

Peluang dan Tantangan Menjadi Kepala Daerah di Kabupaten Kepulauan Sangihe: Pilkada...

Suara Redaksi

Beri Pesan Tegas Usai Lantik Pj Kapitalaung, Thungari: Pemdes Denyut Utama...

Sangihe

Pahlawan Tanpa Sorotan: Dari Laut Talise, Nelayan Menjemput Nyawa Sebelum Negara...

Kolom

Refleksi Hari Kartini: Juita Baraming, Perempuan Sangihe yang Menata Harapan Lewat...

Sangihe

Dilema Angka Stunting Sangihe

Suara Sangihe

Terkini