Sangihe, Lintasutara.com — Windi Devinia Kaparang, S.Pd salah satu dari jutaan anak muda di Indonesia yang mau menjadi guru dan mengabdi di daerah perbatasan seperti Pulau Marore perbatasan Indonesia- Filipina.
Sebagai guru di perbatasan Indonesia- Filipina Windi Devinia Kaparang menulis sendiri kisahnya dengan tinta situasi dan kondisi daerah perbatasan serta terluar dihiasi keterbatasan dan terbatas.
Menjadi ASN dan guru salah satu profesi yang digandrungi masyarakat Indonesia terlebih anak muda seperti mem Windi sapaan akrab masyarakat di Pulau Marore, tapi tidak untuk ditempatkan di pulau perbatasan seperti Indonesia- Filipina.
Tetapi paradigma seperti itu tidak berlaku bagi gadis jebolan FKIP Universitas Klabat ini justru sebaliknya memantapkan niat dan kebesaran hatinya memilih mencerdaskan anak bangsa di perbatasan yang tidak lirik kebanyakan orang.
“Menjadi guru cita- cita saya dan ditempatkan dimana saja sebagai ASN itu bagian dari resiko keputusan saya dan harus saya jalani dengan penuh syukur,” ujar mantan Wakil Ketua Senat Unklab ini dengan yakin.
Disisi lain, sebagai guru ASN Windi tentu harus mengabdi. Semua keterbatasan dan hambatan bukan penghalang namun menjadi pelecut semangat dalam memberikan kontribusi terbaik bagi dunia pendidikan di kabupaten Kepuluan Sangihe terlebih bagi anak- anak perbatasan yang ada di Pulau Marore.
“Siswa- siswi disini menjadi motivasi dan semangat bagi saya, karena walaupun mereka di perbatasan semangat belajarnya juga luar biasa. Intinya mereka harus mendapatkan hak sama dengan anak- anak diluar perbatasan untuk mendapatkan pendidikan,”ungkap guru bahasa Inggris ini dengan bangga.
Windi Devinia Kaparang : Tantangan Guru Perbatasan
Saat pertama kali menginjakan kaki di perbatasan (Pulau Marore) tahun 2019 tidak banyak informasi yang didapat guru cantik berprestasi ini tentang pulau Marore selain ada beberapa embaran yang disampaikan teman terkait kehidupan sosial masyarakat.
“Jujur awal saya hanya mendengar tetang pulau Marore tetapi letaknya dimana tidak tahu nanti pada saat ditempatkan disini baru saya tahu kalau ini perbatasan, sehingga saya membutuhkan waktu penyesuaian kurang lebih sebulan dengan situasi yang baru dari berbagai aspek yang terbatas,” tutur pemilik lesung pipi kelahiran 1990 ini.
Salah satu tantangan yang menarik disini, dimana kemampuan siswa yang berbeda dengan daerah di daratan terutama masalah penggunaan bahasa Indonesia karena anak- anak disini cenderung menggunakan bahasa daerah ( Sangihe) dan dialeg Manado.
“Siswa disini sudah terbiasa dengan bahasa daerah dan Manado, jadi sebisa mungkin menyesuaikan agar mereka memahami yang penting tujuan pembelajaran tercapai anak- anak mengerti,” jelas penyandang gelar Momo Sangihe Persahabatan 2016 ini.
Karena daerah perbatasan dan pulau terluar dengan transportasinya melalui laut maka salah satu tantangan yang harus dihadapi dalam mencerdaskan anak- anak, wilayah ini sering dilanda cuaca buruk secara otomatis mengganggu giat ekonomi warga.
“Apabila cuaca buruk melanda dan tidak dilayari kapal perintis dalam waktu yang lama seperti beberapa waktu lalu sehingga pasokan bahan pokok terhambat maka sering terjadi rawan pangan,” bebernya.
“Saya bersyukur disini banyak teman membantu dan masyarakatnya ramah dan suka berbagi sehingga saya semakin betah dengan kenyaman dan keamanan yang ada dan dinikmati sehingga segala keterbatasan itu tidak membuat saya mengeluh apalagi putus asa,” sambung darah molek berkulit putih ini.