Manado, Lintasutara.com – Politik identitas dalam literatur ilmu politik sebetulnya merupakan alat perjuangan untuk memobilisasi komunitas yang memiliki kepentingan yang sama untuk memperjuangkan lahirnya sebuah keputusan politik atau kebijakan publik yang berpihak pada komunitas tertentu.
Namun, menurut dosen ilmu politik Unsrat Manado, Ferry Liando, belakangan politik identitas kerap dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik untuk kepentingannya sendiri.
Hal itu disampaikannya, ketika memberikan materi tentang Pengaruh Politik Idnetitas pada Pemilu di kantor Bawaslu Sulut, Jumat (6/5/2022).
Bagi Liando, politik identitas sebetulnya telah menjadi fenomena tetapi tidak hangat dipersoalkan karena motifnya tentang perjuangan kemanusiaan.
Seperti perjuangan kaum perempuan, perjuangan kaum buruh dan perjungan keolompok etnik/agama tertentu dalam perjuangan pembentukan daerah otonom baru serta pembentukan sejumlah partai politik berbasis keagamaan.
“Sebuah gerakan yang berlandaskan identitas dapat disebut politik identitas,” ujar Ferry Liando.
Lanjutnya, awalnya politik identitas merupakan alat perjuangan politik untuk membela kepentingan kelompok akibat penindasan dan ketidakadilan.
Dicontohkannya, besaran UMP yang setiap tahun naik tidak terlepas dari perjuangan para serikat buruh seperti SBSI dan organisasi lainnya.
Kebijakan affirmative action 30 persen jumlah perempuan di DPRD, Parpol dan penyelenggara pemilu tidak lepas dari perjuangan para aktivis perempuan.
Dan berdirinya Kabupaten Minahasa Selatan merupakan perjungkan etnik Tountemboan.
Disayangkannya, politik identitas kini mulai berubah drastis bahkan kian menakutkan.
“Menyatukan yang serupa, dan memisahkan yang berbeda. Kita adalah kita dan mereka adalah mereka dan kita berbeda. Mereka bukan yang lebih baik dari kita,” kata Liando.
Kemudian tambahnya, politik identitas seakan menjadi senjata untuk memainkan sentimen agama, etnis, ras, gender untuk menggolkan agenda-agenda politik.
“Politik identitas menjadi salah satu strategi kelompok-kelompok politik dalam memenangi kompetisi. Modusnya adalah menyadarkan kelompok tertentu seolah-olah kelompok itu telah tertindas dan diperlakukan secara tidak adil. Tema-tema kebencian makin menggelorakan semangat kelompoknya untuk bersatu dan melawan,” jelasnya.
Tambahnya, sikap politik pemilih akhirnya tidak lagi memilih berdasarkan kualitas calon melainkan dipengaruhi oleh kesamaan indentitas calon dengan pemilih itu.
Keputusan memilih bukan karena atas dasar kesenangan pada calon yang dipilih tetapi karena calon yang lain berbeda identitas dengannya.
“Tentu ini menjadi berbahaya bagi demokrasi elektoral kedepan,” tegasnya.
Liando pun memberikan 2 cara yang bisa dilakukan untuk mencegah politik identitas adalah membatasi jumlah parpol peserta pemilu dan mengurangi atau menghapus syarat ambang batas pencaloan presiden.
Menurutnya, jumlah parpol yang terlalu banyak menyebabkan ada parpol yang membuat branding bernuansa identitas SARA untuk memobilisasi pendukung dan memusuhi yang lain berdasarkan perbedaan SARA.
Kemudian tingginya syarat ambang batas pencalonan presiden menyebabkan terjadinya 2 polarisasi dukungan.
Diketahui dalam diskusi tampil sebagai pembicara, Anggota Bawaslu RI, Dr Herwyn Malonda.
Turut hadir, Ketua Bawaslu Sulut, Kenly Poluan dan Ewin Umbola serta Ketua GAMKI Sulut Yowanda Yonggara dan Anggota Bawaslu Kabupaten/Kota se-Sulut.
(Dedy)