Mengenali dan Membangun Karakteristik Masyarakat yang Berlogika

Penulis: Jerry Bambutta
Forum Literasi Masyarakat

Kita harus bisa membedakan antara “kebodohan” dan “pembodohan“. Meski menggunakan kata dasar yang sama tapi imbuhannya berbeda memberikan makna yang jauh berbeda.

Kebodohan adalah kondisi defisit intelektual yang di sebabkan karena minimnya asupan pendidikan melalui jenjang pendidikan, baik secara formal maupun non formal. Sedangkan, pembodohan adalah skenario yang kerap di gunakan dalam ranah konflik kekuasaan, di mana persepsi publik di kanalisasi pada sisi “pembenaran” dan bukan pada sisi “kebenaran”.

Jika sebuah cakupan sosial masyarakat tertentu cukup masif di jangkiti oleh pembodohan publik, maka yang akan mendominasi dalam persepsi publik bukan lagi “argumen” logis, obyektif dan bertanggung jawab. Tapi, yang mendominasi dalam persepsi publik adalah “sentimen” yang penuh subyektifitas.

Mengentalnya sentimen ini menjadi celah paling potensial melakukan segregasi agar polarisasi politik bisa mudah terbangun (meski harus mem-provokasi dengan isu-isu tendensius yang brutal).

Saya mengutip sebuah rangkai kalimat dari seorang tokoh nasional yang pernah berkecimpung dalam gerakan progresif-revolusioner, “Tanggung jawab kaum intelektual bukan saja menebar pengetahuan ke banyak orang. Tapi, harus bisa menebar kesadaran kolektif dalam masyarakat. Karena, ketika kesadaran kolektif terpantik, kekuatan kolektif dalam masyarakat akan menyadari urgensi perubahan sosial. Kebangkitan kolektif dalam masyarakat akan menjelma menjadi generator memicu perubahan-perubahan sosial yang membumi”.

Hal senada pernah di ungkapkan oleh seorang tokoh reformis sosial Amerika Serikat bernama Frederic Douglas, ia pernah berujar demikian, “Jika tak ada perjuangan, maka tak akan ada kemajuan. Mereka yang mengaku mendukung kebebasan tapi meremehkan agitasi, maka mereka sama seperti orang-orang yang menginginkan hujan tapi tanpa adanya gelegar guntur dan sambaran halilintar”

Agitasi yang dimaksud oleh Frederic Douglas bukan saja upaya memantik pencerahan nalar, tapi juga menyangkut memantik kesadaran kolektif dalam lingkungan sosial masyarakat.

Masyarakat yang sudah terinfeksi dengan wabah kebodohan dan pembodohan, kondisinya bagaikan orang-orang yang mati suri dalam keranda bernama inferior, apriori dan pesimisme.

Corak kekuasaan yang otoritarian lebih suka kondisi apriori dan pesimisme ini melembaga. Agar supaya fungsi kontrol publik terhadap kekuasaan redup, sehingga “power abuse” bisa lebih langgeng di lakukan penguasa yang korup dan otoriter.

Kebodohan personal dan pembodohan publik sama berbahaya dengan sebuah wabah virus yang bisa membunuh potensi kemandirian dan perubahan sosial. KH Aguk Irawan pernah menyampaikan pemikiranmya, “Wawasan sempit (kebodohan/pembodohan) itu sangat berbahaya. Ia seperti orang yang melihat langit darj lubang sumur. Di pikirnya langit sesempit pandangannya dari dalam sumur. Akibatnya, ia sulit menerima perbedaan dan lebih suka menyalahkan orang lain”.

George Orwell, seorang sastrawan inggris terkenal menegaskan hal yang senada, “Makin menjauh sebuah entiitas masyarakat dari kebenaran, maka mereka akan makin membenci mereka yang menyuarakan kebenaran.”

Jika kita mencermati berbagai fenomena dekadensi logika publik di sekitar kita, rasa-rasanya kita masih lebih mudah memahami masalah ekonomi yang berkaitan langsung dengan urusan perut, ketimbang mencermati masalah mendasar pendidikan yang bersentuhan langsung dengan kualitas penalaran (logika kritis).

Kita tak sadar, jika pendidikan gagal memberikan kontribusi kemerdekaan sosial, maka mimpi terbesar dari kaum tertindas dalam pendidikan adalah menjadi sosok penindas di masa depan.

Seorang guru besar filsafat di Universitas Pelita Harapan bernama Budi Hardiman menegaskan sebuah pemikiran, “Sukses demokratisasi adalah pertumbuhan penalaran publik dan makin berkurangnya sentimentalitas”.

Oleh karena itu, melalui tulisan ini, saya ingin mengurai ada tiga pola berpikir yang harusnya di cangkok dalam masyarakat kita, yaitu:

1. Berpikir analitis

Pola berpikir yang meletakan dan memetakan masalah yang kompleks menjadi lebih sederhana dan mudah untuk di pahami.

2. Berpikir kritis

Pola berpikir yang memungkinkan seseorang membuat keputusan secara logis berdasarkan data dan informasi obyektif yang di peroleh.

3. Berpikir kreatif

Pola berpikir yang mampu mencetuskan sebuah inovasi baru. Hal ini di sebabkan karena gemar mencari dan menemukan sudut pandang yang baru dari masalah yang di hadapi.

Nah, untuk mendorong tiga pola berpikir di atas, kita harus pahami ada lima pilar dalam konstruksi logika, yaitu:

1. Menganalisa informasi dan situasi secara kritis

Konstruksi logika ini membuat kita tak mudah terpengaruh oleh informasi dan situasi yang belum tentu benar. Kita cenderung melakukan evaluasi terhadap informasi dan situasi tersebut dari berbagai sudut pandang. Berdasarkan hasil evaluasi kritis tersebut, baru sebuah simpulan di buat.

2. Membuat keputusan berdasarkan fakta

Konstruksi logika ini membuat kita mengambil keputusan berdasarkan fakta dan data yang obyektif dan relevan. Bukan berpijak pada perasaan atau opini subyektif. Konstruksi logika ini meninggalkan bias persepsi dalam sebuah proses pengambilan keputusan.

3. Terbuka terhadap bukti yang baru

Konstruksi logika ini membuat kita tidak kaku dalam sebuah proses konstruksi opini pribadi. Ketika di jumpai ada bukti terbaru yang obyektif, otentik dan relevan, maka kita bisa lebih legowo dan mudah merevisi opini pribadi tadi. Polemik di pandang bukan sebagai arena tarung “self claim”, tapi sebagai ajang intelektual mempertajam gagasan.

4. Mampu melihat secara multi-perspektif

Konstruksi logika ini membuat kita memahami sebuah masalah dari berbagai sudut pandang (multi perspektif). Dengan demikian, kita terluput pada fanatisme terhadap perspektif tunggal yang kaku. Karena kita cenderung melihat sebuah masalah secara komprehensif.

5. Memiliki “sense of curiosity” (rasa ingin tahu yang kritis)

Konstruksi logika ini membuat kita tak mudah menyerap sebuah informasi begitu saja.

Dengan memiliki rasa ingin tahu yang kritis (curiosity), kiya selalu di gairahkan untuk menggali alasan di balik setiap pernyataan atau masalah. Selalu ada pertanyaan “5W + 1H” untuk menggali pemahanan yang lebih mendalam. 5W + 1H adalah rangkaian what (apa), who (siapa), where (di mana), where (kapan), why (mengapa) dan How (bagaimana).

Bagikan:

Artikel terkait

Terpopuler

Peluang dan Tantangan Menjadi Kepala Daerah di Kabupaten Kepulauan Sangihe: Pilkada...

Suara Redaksi

Beri Pesan Tegas Usai Lantik Pj Kapitalaung, Thungari: Pemdes Denyut Utama...

Sangihe

Refleksi Hari Kartini: Juita Baraming, Perempuan Sangihe yang Menata Harapan Lewat...

Sangihe

Pahlawan Tanpa Sorotan: Dari Laut Talise, Nelayan Menjemput Nyawa Sebelum Negara...

Kolom

Dilema Angka Stunting Sangihe

Suara Sangihe

Terkini