Kala mentari pertama terbit di ufuk 2024, ombak Pulau Sangihe menyambut tahun baru dengan tarian gelombang yang mengisahkan harapan dan tantangan. Di bawah langit yang sama, sebuah cerita panjang tersulam dari benang emas ekonomi, politik, dan sosial masyarakat pesisir.
Tarik Ulur Asa di Laut Lepas
Dari laut biru yang menghidupi banyak jiwa, nelayan Sangihe bertaruh pada keberuntungan. Tahun ini, hasil tangkapan naik-turun seperti napas gelombang. Harga komoditas laut seperti melonjak, namun di waktu lain terhempas. Para petani pala dan kelapa juga mengeluhkan hasil bumi yang tak sebanding dengan biaya hidup yang terus merangkak naik.
Namun tak semua cerita di laut biru itu tenang. Nelayan tradisional, yang bergantung pada alam dan cara-cara lama, semakin terhimpit. Pelaku ilegal fishing, dengan rakusnya, menggerogoti hasil laut yang menjadi tumpuan hidup. Dengan kapal besar dan peralatan canggih, mereka merampas apa yang seharusnya menjadi hak masyarakat lokal. Perlawanan ada, tetapi sering tak berdaya melawan kekuatan yang jauh lebih besar. Di sini, keadilan terasa bagai ombak kecil yang pecah sebelum sampai ke pantai.

Riuh Pilkada di Pulau Perbatasan
Politik di Sangihe tahun ini bagai badai yang menggemuruh di cakrawala. Pilkada 2024 menjadi panggung utama, dengan pasangan Michael Thungari dan Tendris Bulahari sebagai lakon yang menarik sorotan. Dengan dukungan Partai NasDem, mereka menawarkan janji perubahan yang lebih dekat dengan denyut nadi rakyat.
Namun, perjuangan tak semudah menyusun mimpi. Rivalitas politik memanas, menciptakan retakan dalam masyarakat yang sebelumnya akrab. Di sela-sela persaingan, Pj. Bupati Albert Huppy Wounde berupaya menjaga keseimbangan, menjadi jangkar yang menahan kapal agar tidak terombang-ambing terlalu jauh.

Simfoni Kehidupan di Tanah Perbatasan
Di ranah sosial, Sangihe menunjukkan wajah lain yang penuh warna. Persatuan dan gotong royong tetap menjadi akar budaya masyarakat, meski tantangan globalisasi menggerus sedikit demi sedikit nilai-nilai itu. Bencana alam, dari banjir hingga gelombang pasang yang melanda Pulau Marore, menguji ketangguhan warga.
Namun, seperti karang yang tak goyah diterpa ombak, masyarakat Sangihe saling menguatkan. Bantuan dari berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar daerah, menjadi perwujudan solidaritas yang hidup di tanah perbatasan ini.

Ancaman terhadap Ekosistem yang Rapuh
Keindahan Sangihe yang memukau tak luput dari ancaman. Ekosistem yang rapuh mulai terguncang akibat aktivitas tambang ilegal yang merampas ruang hidup manusia.
Bukit-bukit yang dulu hijau mulai terluka oleh alat berat, sementara sungai-sungai keruh membawa cerita pilu pencemaran. Tidak hanya flora dan fauna yang kehilangan tempat tinggal, tetapi juga masyarakat yang terhubung erat dengan alam.
Mereka terdesak, kehilangan ruang untuk menjalankan tradisi yang telah diwariskan berabad-abad. Perlawanan terus bergulir, meski jalannya penuh rintangan. Di sini, perjuangan menjaga lingkungan adalah kisah tentang hak hidup yang harus terus diperjuangkan.

Cahaya di Ujung Senja
Tahun 2024 menutup kisahnya dengan pelajaran berharga bagi Sangihe. Dari dinamika ekonomi yang penuh tantangan, riuhnya panggung politik, hingga harmoninya kehidupan sosial, semua menjadi potongan mozaik yang membentuk narasi megah tentang ketangguhan.
Di tengah samudra yang luas dan tak terduga, Sangihe tetap menjadi penanda batas negeri. Namun lebih dari itu, ia adalah rumah bagi jiwa-jiwa yang kuat, yang terus bermimpi meski langit gelap. Tahun berganti, dan Sangihe bersiap menyambut hari baru dengan hati yang tetap percaya.
(Tim)