Dukung karya jurnalisme perbatasan Lintasutara.com
Lihat
LU TV

Mengenal Perbedaan antara Paguyuban dan Patembayan Berbasis Masyarakat Nusa Utara

Nusa Utara adalah sebutan populer yang merujuk pada dua identitas, yaitu territorial kolektif dan entitas etnis.

Oleh: Jerry Bambutta
Founder Forum Literasi Masyarakat

Dalam rujukan territorial kolektif, Nusa Utara adalah kawasan kabupaten kepulauan di gugus perbatasan, yaitu kabupaten Sangihe, Kabupaten Talaud dan Kabupaten Sitaro. Sedangkan, dalam rujukan entitas etnis, Nusa Utara merujuk pada rumpun masyarakat yang berasal dari tiga kabupaten tersebut, baik yang sifatnya berdomisli local maupun diaspora.

Pada masa orde baru, Kawasan Nusa Utara merupakan satu kesatuan wilayah yang disebut dengan Daerah Tingkat II Kabupaten Sangihe Talaud. Nanti pada era reformasi ketika kebijakan otonomi daerah berlaku, terjadi pemekaran menjadi tiga kabupaten berbasis kepulauan.

Meskipun telah memiliki dapur otonomi masing-masing, ketiga wilayah kabupaten kepulauan Nusa Utara memiliki koherensi historis, kultural, bahasa dan rumpun kekeluargaan yang erat. Keterkaitan akar kearifan lokal inilah yang kerap menjadi perekat di inisiasinya berbagai wadah sosial masyarakat berbasis Nusa Utara. Fou

Wadah sosial masyarakat berbasis Nusa Utara cukup beragam tersebar di Sulawesi Utara atau pun di luar wilayah Sulawesi Utara. Dari sekian banyak wadah sosial masyarakat tersebut, hampir selalu menggunakan narasi dan slogan kolektifitas dengan semangat solidaritas dan gotong royong masyarakat Nusa Utara.

Dalam tulisan saya kali ini, saya ingin memilah dua karakter wadah sosial masyarakat berbasis Nusa Utara, yaitu “paguyuban” dan “patembayan”.

Sosiolog Jerman, Ferdinnand Tonnies membagi kelompok social menjadi dua bagian, yaitu “gemeinschaft” (paguyuban) dan “gesselschaft” (patembayan).

Karakteristik Paguyuban dan Patembayan

Paguyuban, terbangun karena adanya perasaan kekeluargaan dan kasih sayang, bertujuan untuk meningkatkan rasa kebersamaan.

Masing-masing individu tidak saling menonjolkan untuk menjatuhkan lainnya, memegang teguh aturan atau adat lama, antar anggota memiliki ikatan batin, dan hubungan antar anggota bersifat informal (santai).

Paguyuban bisa dibangun karena adanya ikatan darah (solidaritas dari satu nenek moyang), paguyuban karena komunitas (kedekatan atau kesamaan wilayah/territorial), dan paguyuban karena ideologis (kesamaan ideologis).

Patembayan, tidak bersifat kekeluargaan dan ikatannya lebih lemah, kelompok bisa terdiri dari orang-orang dari latar belakang berbeda, hubungan anggota bersifat sementara, motivasi dari partisipasi karena kepentingan pribadi, memperhitungkan keuntungan atau nilai guna dari kelompok, dan hubungan antar anggota ada yang sifatnya formal atau non formal.

Contoh patembayan adalah karyawan kantor yang terikat kontrak atau koalisi karena bargaining politik. Patembayan bersifat temporer dengan tujuan tertentu, ketika tujuan tercapai maka bisa saja di bubarkan.

Hubungan patembayan sangat rapuh karena jika anggotanya tidak menerima keuntungan, setiap anggota bisa saja keluar dengan sendirinya.

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa motivasi utama yang mendorong lahirnya paguyuban adalah “rasa senasib sepenanggungan,” yang melahirkan solidaritas kolektif yang kuat. Dalam paguyuban, solidaritas terbangun dengan erat meskipun terdapat heterogenitas dalam hal agama, etnis, cara pandang, karakter, atau status sosial.

Paguyuban merupakan “rumah ideal” yang dapat merawat sekaligus melestarikan jati diri, solidaritas, dan eksistensi masyarakat Nusa Utara. Paguyuban adalah inkubator yang kondusif untuk ‘membumikan’ semangat “gotong royong” yang terkandung dalam warisan kearifan lokal Nusa Utara.

Paguyuban menghidupi filosofi kesetaraan yang tercermin dalam peribahasa “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.” Sebaliknya, patembayan adalah realitas logis dari sebuah kelompok sosial yang melebur diri karena dorongan kepentingan rasional, sehingga cenderung bersifat tidak langgeng (temporer).

Dalam patembayan, kepentingan individual lebih menonjol daripada kepentingan kolektif. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kompetisi atau persaingan dalam patembayan bisa terjadi.

Perekat utama dalam patembayan bukanlah hubungan alamiah, melainkan kepentingan rasional yang bersifat individual. Patembayan adalah manifestasi konkret dari corak manusia modern yang kental dengan budaya individualistik dan oportunistik.

Otokritik Etis terhadap Realitas Wadah Sosial Masyarakat Nusa Utara

Secara sederhana, otokritik dapat dimaknai sebagai evaluasi dan kritik terhadap diri sendiri yang bersifat konstruktif. Pengertian “diri sendiri” bukan hanya mewakili person (pribadi), tetapi juga dapat mencakup entitas masyarakat, institusi formal/non formal atau lembaga formal/non formal.

Otokritik jangan selalu dimaknai sebagai bentuk apriori atau sinisme yang penuh sentimen terhadap identitas atau realitas tertentu.

Kerap kali, otokritik bisa cukup pedas dan tajam dalam penyampaiannya, namun kita harus menanggapinya secara dewasa dan pikiran positif. Sebab, dengan adanya otokritik yang etis, logis, dan bertanggung jawab, akan mencegah kita terjebak dalam distorsi dan degradasi.

Otokritik memungkinkan kita untuk kembali berpijak pada prinsip-prinsip yang mendasar. Di beberapa forum diskusi terkait entitas Nusa Utara, ada fenomena menarik yang saya jumpai.

Inisiasi kelompok sosial masyarakat dibangun dengan label “paguyuban,” namun isi dalamnya memiliki cita rasa “patembayan.” Tidak heran, euforia saat konsolidasi awal begitu menggebu-gebu, tetapi pada ujungnya ‘ricuh’ dan terpecah belah.

Fenomena ini kerap kita temui di Nusa Utara, yang sengaja didesain untuk menjadi pelana politik praktis. Kemasan paguyuban ini didesain dengan mengusung narasi populis melalui tema solidaritas, kekeluargaan, dan gotong royong.

Hal ini sengaja dilakukan agar bisa digunakan untuk membangun “isu populisme” sekaligus menciptakan “pembauran politis” yang cair dalam ruang akar rumput Nusa Utara yang heterogen.

Konsekuensi logisnya, ketika kemasan paguyuban dibangun tetapi konten internalnya adalah patembayan, hal ini akan memicu segregasi yang tajam di antara entitas Nusa Utara. Pada akhirnya, adu superioritas antara pihak pro dan kontra akan menjadi tontonan yang kurang etis di ruang publik.

Stigma negatif terhadap basis Nusa Utara bisa saja terbangun, yang pada gilirannya akan memupuk apriori yang penuh dengan sinisme, pesimisme, dan apatisme.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kerap kali pendirian sebuah basis Nusa Utara didorong oleh hegemoni politik praktis di ruang lokal.

Euforia konsolidasi berlabel Nusa Utara menjamur, namun dibangun dengan orientasi patembayan yang dikemas sebagai paguyuban. Akibatnya, paguyuban yang seharusnya menjadi “rumah pluralitas” yang sejuk malah berubah menjadi “ring tinju politik.”

Polemik dan ‘perang’ apologi yang terbangun bukan lagi didasarkan pada “argumen logis”, tetapi ‘diprovokasi’ oleh “sentimen tendensius” yang kurang etis dan memanas.

Apakah tulisan ini menunjukkan bahwa saya pribadi sinis terhadap realitas dan isu politik praktis yang terkait dengan Nusa Utara? Tidak demikian! sampai kapan pun dan apapun situasinya, sebagai masyarakat yang hidup dalam ruang publik yang heterogen, kita tidak akan bisa memisahkan diri dari realitas politik lokal maupun nasional.

Antara paguyuban dan patembayan masing-masing memiliki ruangnya sendiri yang harus kita kelola dengan bijak. Ketika kemasan paguyuban dibangun tetapi isinya adalah patembayan, hal ini sudah pasti akan memicu konflik kepentingan internal yang tajam.

Cara-cara konsolidasi politik yang bersifat “demagogis” dengan menunggangi paguyuban akan memicu bumerang fatal bagi basis Nusa Utara.

Bukan hanya solidaritas dalam pluralitas yang terancam koyak, tetapi anak cucu kita akan kehilangan “kiblat keteladanan” dalam membangun dan merawat solidaritas sosial masyarakat Nusa Utara.

Semoga catatan ringkas ini dapat menjadi bahan “kontemplasi” sekaligus “evaluasi” bersama bagi kita semua sebagai warga masyarakat Nusa Utara.

Kita dibesarkan oleh nenek moyang kita dengan warisan nilai kearifan lokal yang sangat berharga. Semangat dan tradisi solidaritas, kekeluargaan, dan gotong royong harus terus hidup dalam setiap tarikan napas hidup kita.

Bukan hanya sekadar menjadi koleksi filosofis dalam pustaka intelektual, tetapi juga menjadi nilai yang membumi dalam setiap pikiran, perkataan, dan perilaku kita sebagai warga masyarakat Nusa Utara.

Setidaknya, isi tulisan saya tersimpul dalam sebuah filosofi kehidupan masyarakat Nusa Utara berikut:

“Somahe Kai Kehage, Sansiote Sampate-Pate, Pakatiti Tuhema, Pakanandu Mangena, Boleng Balang Singkahindo.”

(***)

Bagikan:

Artikel terkait

Advertisement

Terpopuler

Ferdy Sondakh Imbau Kader PDI-P Sangihe Bersabar

Sangihe

Kisah Windi Devinia Kaparang, Guru di Perbatasan Indonesia Filipina

Profil

Dari Manado ke Panggung BPU Sangihe, Sanggar Teater Kavirsigers Bakal Sajikan...

Sangihe

Pemkab Sitaro Dapat Hibah Aset Pelabuhan Sawang untuk Relokasi Rumah Sakit

Sitaro

Lindungi Hak Masyarakat Hukum Adat dan Jaga Warisan Leluhur, Kementerian ATR/BPN...

Nasional

Terkini