Ongkos Politik: Tiap Pemilu Semakin Mahal

Oleh: Alpianus Tempongbuka, S.Ap

Pemilu adalah bagian utama daripada demokrasi, dimana rakyat diberikan hak dan kebebasan untuk menentukan pilihannya terhadap calon pemimpin.

Dalam sistem pemilu pasti terjadi persaingan ketat antara para calon pemimpin. Sederhananya, semua calon adalah orang baik, yang terpilih adalah yang terbaik.

Sistem Pemilu telah dikenal di Indonesia sejak tahun 1999 , 2004, 2009, 2014, 2019 dan di tahun 2024 yang baru di selenggarakan di level legislatif dan Pilpres. Artinya sistem Pemilu di Indonesia cukup ditekuni hingga mampu menggelar sebanyak 6 kali jika dalam hitungan tahun bukan lagi pada usia belia karena telah menyelenggarakan sistem pemilu kurang lebih 30 tahun dihitung 5 tahun/periodik.

Sistem Pemilu yang digelar di Indonesia selalu mengalami titik terendah akan rentannya pelanggaran Pemilu dalam hal money Politics (Politik uang). Setiap perhelatan Pemilu yang digelar, laporan terhadap lembaga pengawas pemilu adalah adanya transaksi politik uang.

Terbaru dalam pemilu 2024 adanya dua oknum di Sulawesi Utara yang telah ditetapkan sebagai terpidana Pemilu akibat tindakan Politik uang. Lantas apakah hal tersebut adalah kesalahan pemilih, ataukah kesalahan peserta pemilu?

Pada tahun 1999, sistem pemilu belumlah mengenal yang namanya politik uang melainkan fase kombinasi antara elit lama dan elit (tahap konsolidasi ). Pada tahun 2004, perubahan pola ekspansi modal dimana kekuasaan menjadi penjamin rute modal, maka tak jarang pihak pemodal ikut serta dalam pertarungan Politik.

Politik uang atau jual beli suara dapat menjadi batu sandungan bagi Proses demokratisasi Indonesia. Transaksi jual beli suara politikus dan pemilih merupakan pengeluaran politik yang sulit dihindarkan. Penggunaan uang, barang, serta jasa untuk menggaet suara pemilih ditenggarai menjadi salah satu faktor pemenang bagi kandidat yang memiliki modal besar.

Berdasarkan observasi penulis, masyarakat pemilih sebagian besar memberi pandangan bahwa siapapun yang menjadi pemimpin mereka, hanya mencipta katup pengaman bagi diri mereka sendiri, sedang rakyat tetap pada posisi harus bermandikan keringat guna mendapatkan sesuap nasi.

Jual beli suara mengansumsikan transaksi tersebut berlangsung dengan efektif karena dilakukan secara top-down oleh politisi, yang umumnya berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang lebih superior, kepada pemilih “irasional” yang umumnya berlatar belakang sosial ekonomi inferior (Choi 2009; Hidayat 2009;Taylor 1996).

Riset lain menitikberatkan pada aspek kultural sebagai faktor yang mempengaruhi terjadinya jual beli suara. Sebagai contoh, hubungan antara partai berbasis etnis dan jaringan sosial berdasarkan etnisitas menjadi perekat terjadinya jual beli secara efektif (Hieken 2007).

Kedudukan strata sosial yang lebih tinggi membuat politikus mampu menghegemoni dan memobilisasi sekelompok masyarakat pemilih strata sosial yang lebih rendah. Penelitian lain menyoroti ketidakmampuan pemilih, dikarenakan tingkat pendidikan yang rendah, dalam mengevaluasi kinerja politikus yang menempati jabatan publik.

Akan tetapi, pengalaman pemilu 2009, 2014, 2019, hingga 2024 beberapa pemilihan legislatif (pileg) menunjukkan terjadinya gejala sebaliknya. Pemilih mampu menegosiasikan bahkan mendikte nominal uang yang harus dipertukarkan. Hal ini terlihat dari liputan media yang mengulas tentang para caleg yang jatuh bangkrut serta wawancara lansung dengan para caleg yang bahkan kehilangan hasrat untuk menjadi caleg kembali akibat kerugian yang menimpa dirinya.

Dalam pandangan penulis, negosiasi ini terjadi karena pemilih memahami bahwa kandidat hanya membutuhkan suara mereka karena begitu terpilih maka pemilih akan dilupakan. Pemilu memberi peluang bagi pemilih yang selama ini merasa tidak mendapatkan manfaat dari wakilnya di lembaga legislatif maupun pemerintahan. Mereka kemudian menggunakan suara mereka sebagai alat tawar. Oleh karena itu, kesepakatan antara pemlih dan politikus tidak sepenuhnya linier dan didikte oleh politikus akan tetapi sangatlah kompleks.

Hal ini menunjukkan bahwa pemilih (dari kelas bawah) menyadari kekuatan daya tawar mereka terhadap politikus dan memanfaatkan situasi demi kepentingan mereka sendiri. Situasi ini dijelaskan dengan tepat oleh Laothamantas (1996) bahwa terutama bagi pemlih kelas bawah, demokrasi (dan Pemilu ) adalah momen untuk menyeimbangkan ketimpangan yang selama ini mereka alami.

Bagikan:

Artikel terkait

Terpopuler

Peluang dan Tantangan Menjadi Kepala Daerah di Kabupaten Kepulauan Sangihe: Pilkada...

Suara Redaksi

Beri Pesan Tegas Usai Lantik Pj Kapitalaung, Thungari: Pemdes Denyut Utama...

Sangihe

Refleksi Hari Kartini: Juita Baraming, Perempuan Sangihe yang Menata Harapan Lewat...

Sangihe

Pahlawan Tanpa Sorotan: Dari Laut Talise, Nelayan Menjemput Nyawa Sebelum Negara...

Kolom

Dilema Angka Stunting Sangihe

Suara Sangihe

Terkini