Adrey Laikun dan Sebuah Penolakan Reklamsi Pantai

Catatan : Albert Piterhein Nalang

Manado Lintasutara.com — Sosok Politisi Adrey Laikun, ST sejak dilantik untuk menjadi Anggota DPRD Kota Manado Pada 14 Agustus 2019, kini menjelma menjadi “mantra” dalam alur sejarah Politik di atas lanskap utara manado. 4 tahun 10 bulan, bukanlah usia panjang untuk seorang Politisi di Indonesia. Dalam carut-marut kultur Politik di negeri ini, banyak Politisi dalam waktu hidup yang sangat singkat. Tapi di utara manado, sosok anau wanua Nusa Utara atau dengan sebutan anak pulau bisa tergolong hanya seumur jagung dan terus menyerbu dan mengisi belantika politik di Kota Manado.

Tak ada yang lebih menarik dari membincangkan Anak Pulau yang merupakan keterwakilan nusa utara di pentas Pilwako manado 27 november mendatang dalam perbincangan politik. Anak Pulau Adrey Laikun adalah sebuah magnitude dan sebuah fenomena, menarik ditelusuri dalam jagat perbincangan politik di utara Manado.

Kesempatan pertama, saya harus menyebutkan, kerinduan para warga pesisir pantai di utara manado untuk tak henti-hentinya menyuarakan penolakan reklamasi pantai, khusus untuk para warga nelayan dibilang ini tak saja dibangun di atas semangat, namun juga lewat tetesan darah dan pesan perih yang luar biasa dan panjang.

Disitulah ketika suara – suara penolakan para warga pesisir pantai menyerukan agar ada keterwakilan anak pesisir untuk maju sebagai bakal calon wakil walikota.

Saat itu juga Anak Pulau Adrey Laikun menuturkan, “Aku bukan malaikat, tapi aku selalu berusaha untuk tidak jadi iblis. Falsafah yang harus diusahakan yaitu, kita harus bersatu dan tolak segala bentuk reklamasi pantai.

“Mengapa saya katakan kita harus bersatu dan menolak, karena dampak negatif reklamasi pantai di utara manado secara garis besar antara lain adanya ancaman banjir, perubahan ekosistem, ancaman hilangnya mata pencaharian nelayan, masalah sosial, urbanisasi, penyediaan air bersih dan lalu lintas yang padat.

Sekali saya menyatakan bahwa reklamasi pantai dapat mengakibatkan hilangnya sumber tanah material urukan, membutuhkan banyak tanah, frekuensi transportasi tinggi, akan merusak ruas jalan, perubahan topologi dan ketinggian, terganggu dan berubahnya kondisi ekonomi, sosial, serta lingkungan. Dampak lingkungan hidup yang sudah jelas nampak di depan mata akibat proyek reklamasi itu adalah kehancuran ekosistem berupa hilangnya keanekaragaman hayati.

Keanekaragaman hayati yang diperkirakan akan punah akibat proyek reklamasi itu antara lain berupa hilangnya berbagai spesies mangrove, punahnya spesies ikan, kerang, kepiting, burung dan berbagai keanekaragaman hayati lainnya,” tegas Anak Pulau Adrey Laikun.

Kedua maka saya harus menyebutkan, Adrey Laikun adalah anak pulau anak pesisir. Ia politisi sejati. Ia berjuang untuk kebenaran. Ia berpihak pada kepentingan rakyat khususnya para nelayan dan warga pesisir pantai, Ia patuh pada aturan baku legislatif dan menolak menandatangani program tata ruang RT/RW yang didalamnya rencana reklamasi 900 hektar.

Tapi juga ia hidup dengan kemerdekaan penuh, dan menolak pembatasan yang membunuh eksistensi dan martabat seorang manusia. Karena ia menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.

Bagikan:

Artikel terkait

Terpopuler

Peluang dan Tantangan Menjadi Kepala Daerah di Kabupaten Kepulauan Sangihe: Pilkada...

Suara Redaksi

Beri Pesan Tegas Usai Lantik Pj Kapitalaung, Thungari: Pemdes Denyut Utama...

Sangihe

Refleksi Hari Kartini: Juita Baraming, Perempuan Sangihe yang Menata Harapan Lewat...

Sangihe

Pahlawan Tanpa Sorotan: Dari Laut Talise, Nelayan Menjemput Nyawa Sebelum Negara...

Kolom

Dilema Angka Stunting Sangihe

Suara Sangihe

Terkini