Nusa Utara membutuhkan bukan hanya sosok pemimpin publik tapi sosok pengayom rakyat yang mampu menghidupkan atmosfer kesetaraan sosial masyarakat.
Terbuka merangkul perbedaan etnis, agama, status sosial dan perbedaan sosial masyarakat lainnya. Bukan sosok elitis yang menciptakan jarak ekslusifitas dengan masyarakat akar rumput.
Corak kepemimpinan egaliter ini bukan hanya sebatas “riasan pencitraan politik” yang sifatnya temporer, tapi adalah karakter original yang akan di bawa hingga pada saat menggenggam kekuasaan.
Masyarakat dengan mudah akan menemukan pengayoman untuk semua keluhan aspirasinya. Figure yang memiliki karakter inklusif dan egaliter secara pasti akan memiliki modal sosial yang tinggi dan berimbas pada tingginya potensi popularitas dan elektabilitas politik. Di mana hal ini akan menjadi “nilai tawar politik” kompetitif dalam sebuah arena kompetisi pilkada.
Kedua, kita butuh figure perekat yang mampu melelehkan sekat kultural yang bersifat primordialisme konservatif
Kita butuh sosok pemimpin yang mampu mengobati berbagai segregasi sosial yang di lahirkan karena luka-luka politik dari rezim ke rezim.
Sikap legowo merangkul para tetua (gaghurang) sekaligus cakap menghidupkan atmosfer kekeluargaan dalam hubungan senior (yakang) dan junior (tuari).
Dan pada saat yang sama, mempu melelehkan sekat kultural yang memicu tebalnya primordialisme sempit antar etnis dalam masyarakat Nusa Utara, sehingga benang-benang rekonsiliasi bisa terjalin dan mampu menyembuhkan sinisme dan apriori karena luka-luka politik tadi.
Tak hanya cakap merangkul, tapi juga cakap melakukan “detoksifikasi” terhadap konservatisme kaku yang menutup mata terhadap inovasi di era modernisasi, globalisasi dan digitalisasi. Membuka tirai inovasi untuk membangun masa depan dengan tetap melestarikan identitas kearifan local Nusa Utara.
Ketiga, kita butuh figure perekat yang tak hanya sebatas “polesan populisme” tapi mampu menghidupkan kearifan local secara membumi dalam kepemimpinan publik
Era digital telah memicu disrupsi radikal dalam proses komunikasi dan sosialisasi politik. Salah satunya adalah industry populisme politik melalui berbagai media digital telah menjadi rahim prematur bagi pemimpin karbitan.
Bermodalkan “polesan populisme” yang tak lebih dari sekedar “kosmetik politik” yang akan luntur juga seiring waktu berlalu.
Populisme politik hanya menjadi salah satu “dongkrak” mempromosikan figure premature yang hanya focus untuk berkuasa tapi minim kecakapan dalam membangun kepentingan public.
Oleh karena itu, kita tak membutuhkan figure yang hanya bisa “bernyanyi” melalui populisme media pencitraan politik.
Kita jauh lebih membutuhkan figure perekat yang “bernyali” memperjuangkan kepentingan kolektif masyarakat Nusa Utara.
Symbol dan slogan kearifan lokal nusa utara bukan hanya menjadi “polesan populisme” tapi menjadi komitmen dan dedikasi konsisten dalam tugas kepemiminan public.
Intinya, cukup luwes menghadapi realitas pragmatisme politik tapi tetap konsisten berpijak sebagai pelidung hak masyarakat banyak akan keadilan, kesejahteraan dan kemandirian.