Catatan Aspiratif Keterwakilan Politik Nusa Utara Dalam Momentum Pilkada Serentak Sulut 2024

Kian menarik saat menyimak dinamika opini public menjelang pilkada serentak Sulawesi Utara tahun 2024. Dalam beberapa pekan terakhir makin mencuat berbagi figur yang merepresentasikan aspirasi masyarakat Nusa Utara.

Bukan saja pada tingkatan pilkada kabupaten Sangihe, Kabupaten Talaud dan Kabupaten Sitaro sebagai teritorial kolektif Nusa Utara. Tapi mencuat juga pada tingkatan pilkada Kota Manado dan Provinsi Sulawesi Utara.

Bahkan, pada pilkada kabupaten/kota di wlayah Bolmong raya juga mencuat beberapa figure nusa utara diaspora yang sudah turun temurun mendiami wilayah Bolmong raya.

Semua hal tersebut adalah sah dalam konstitusi di negara ini, karena setiap warga negara memiliki hak demokrasi untuk di pilih dan memilih dalam pesta demokrasi pada semua jenjang pilkada, baik pada level pilwako, pilbup dan dan pilgub.

Dalam catatan Wikipedia, kawasan Nusa Utara dicatat memiliki posisi penting pada abad pertengahan karena menjadi penghubung antara Maluku di Timur dan Philipin di Utara.

Istilah kata “Nusa Utara” bukan nanti populer dikenal pada masa sekarang, ada beberapa catatan historis yang membuktikan bahwa istilah “Nusa Utara” sudah di kenal sejak zaman Belanda.

Karya tulisan dari Viersen pada tahun 1903 menyebut wilayah Nusa Utara dengan sebutan bahasa Belanda “Noorden Einlanden”.

Istilah “Noorden Einlanden” ini dikaitkan juga dengan laporan jurnal “Het Journaal Van Padtbbrudgge’s Reis Naar Noord-Celebes En De Noorder Einlanden” (Jurnal perjalanan Padtbbrudgge’s ke Sulawesi Utara dan pulau-pulau ke arah utara).

Jurnal ini merangkum perjalanan Padtbbrudgge’s sebagai seorang gubernur VOC dari Maluku pada tanggal 16 Agustus hingga Desember 1677.

Kawasan Nusa Utara adalah istilah populer yang merujuk pada tiga wilayah kabupaten yang berada di batas paling utara Indonesia, yaitu Kabupaten Sangihe, Kabupaten Talaud dan Kabupaten Sitaro.

Ketiga kabupaten tersebut adalah wilayah kepulauan yang membentang bagai benteng Nusantara tepat di batas pasifik yang langsung berbatasan dengan laut Sulu dan Philipina.

Bahkan, geoposisi kawasan Nusa Utara bersinggungan langsung dengan episentrum konflik Laut China Selatan. Di mana kita tahu bersama bahwa Laut China Selatan hari ini kian memanas karena konflik kepentingan antar negara, yaitu China, Vietnam, Malaysia, Philipina, Brunei Darusalam dan Taiwan.

Kondisi ini bisa menjadi tema diskursus menarik yang bisa di kaji lebih dalam melalui riset berbasis geopolitik dan geoekonomi.

Dalam konteks eksistensi etnis, Nusa utara tergolong etnis inklusif yang sangat cair membaur ke semua wilayah dalam lintas etnis dan lintas agama di berbagai wilayah Sulawesi Utara.

Tak heran, basis etnis nusa utara bukan saja mendiami wilayah Sangihe, Talaud dan Sitaro dan pulau-pulau kecil sekitarnya, tapi juga memiliki etnis Nusa utara diaspora yang menyebar luas di Kabupten/Kota lainnya di Provinsi Nusa Utara.

Dalam konteks kalkulasi electoral, tak berlebihan jika saya menyebut basis Nusa Utara cukup kompetitif sebagai konstituen menuju pilkada serentak Sulawesi Utara tahun 2024.

Etnis nusa utara diaspora telah kawin campur dan menyebar luas merata pada lintas wilayah Kabupaten/Kota Sulawesi Utara.

Keunikan ini membuat efek politisasi SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) tak mempan terhadap basis etnis nusa utara yang memiliki kekerabatan kekeluargaan yang sangat erat satu dengan lainnya.

Sayangnya, untuk memboyong basis Nusa utara menjadi satu kekuatan politik yang solid dan kompetitif dalam percaturan pilkada serentak bukanlah hal yang mudah.

Mengingat heterogenitas karakter sosial dan kepentingan politik mudah sekali memecah basis Nusa Utara dalam berbagai wilayah.

Dan juga, harus dengan jujur kita akui selama ini, terminologi “Nusa Utara” kerap kali hanya menjadi symbol polarisasi politik secara temporer. Tetapi luntur seiring masa konsolidasi dan suksesi politik berakhir, eforia solidaritas Nusa Utara pada akhirnya mengendap lagi dan akan di gembosi lagi pada pesta demokrasi lima tahunan selanjutnya.

Berbagai kerukunan berbasis Nusa Utara yang menjamur di berbagai wilayah Kabupaten/Kota kerap kali “kabur” membedakan antara “paguyuban” dan “patembayan”.

Sosiolog Jerman, Ferdinnand Tonnies membagi kelompok social menjadi dua bagian, yaitu “gemeinschaft” (paguyuban) dan “gesselschaft” (patembayan).

Antara paguyuban dan patembayan memiliki makna, motivasi dan tujuan yang jauh berbeda. Mencampur kedua hal tersebut akan memicu segregasi sosial dan luka politik yang akan mengakar dalam waktu yang lama.

Kondisi ini juga yang membuat basis Nusa Utara terkotak-kotak oleh warna hegemoni kepentingan politik.

Paguyuban, terbangun karena adanya perasaan kekeluargaan dan kasih sayang, bertujuan untuk meningkatkan rasa kebersamaan, masing-masing individu tidak saling menonjolkan untuk menjatuhkan lainnya, memegang teguh aturan atau adat lama, antar anggota memiliki ikatan batin, dan hubungan antar anggota bersifat informal (santai).

Paguyuban bisa di bangun karena adanya ikatan darah (solidaritas dari satu nenek moyang), karena kedekatan atau kesamaan wilayah/territorial, dan juga karena kesamaan ideologis.

Patembayan, tidak bersifat kekeluargaan dan ikatannya lebih lemah, kelompok bisa terdiri dari orang-orang dari latar belakang berbeda, hubungan anggota bersifat sementara, motivasi dari partisipasi karena kepentingan pribadi, memperhitungkan keuntungan atau nilai guna dari kelompok, dan hubungan antar anggota ada yang formal atau non formal.

Contoh patembayan adalah karyawan kantor yang terikat kontrak atau koalisi karena bargaining politik. Patembayan bersifat temporer dengan tujuan tertentu, Ketika tujuan tercapai maka bisa saja di bubarkan.

Hubungan patembayan sangat rapuh karena jika anggotanya tidak menerima keuntungan, setiap anggota bisa saja keluar dengan sendirinya.

Dari uraian di atas, maka bisa di pahami bahwa motivasi utama yang mendorong lahirnya paguyuban adalah “rasa senasib sepenanggungan”. Di mana motivasi tersebut yang melahirkan solidaritas kolektif yang solid, meski dalam sebuah paguyuban tetap ada aspek majemuk dari segi agama, etnis, persepsi, karakter atau status social.

Secara ideal, paguyuban adalah “rumah pluralitas” yang bisa merawat sekaligus melestarikan semangat “bhineka tunggal ika”. Paguyuban adalah inkubator kondusif untuk membumikan semangat “gotong royong”.

Paguyuban menghidupi filosofi kesetaraan dalam peribahasa “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi”. Paguyuban bisa menjadi contoh dari kontekstualisasi konkrit dari kearifan local dalam masyarakat.

Sedangkan patembayan adalah realitas logis dari sebuah kelompok social yang melebur diri karena di dorong kepentingan rasional dan transaksional, dan karena itu cenderung bersifat tidak langgeng.

Dalam patembayan, kepentingan individual lebih menonjol daripada kepentingan kolektif. Tidak heran, jika kompetisi/persaingan dalam patembayan bisa terjadi. Perekat utama dalam patembayan bukanlah hubungan alamiah tapi kepentingan transaksional yang bersifat individual.

Patembayan adalah manifestasi konkrit dari corak manusia modern yang kental dengan kultur individualistic dan opurtunistik.

Masalah klasik dalam basis Nusa Utara yang kerap menjadi “tayang ulang” dalam setiap musim demokrasi adalah inisiasi “paguyuban” tapi konten dalamnya adalah “patembayan”.

Membangun paguyuban yang mengemas isu kolektif tapi di setir dengan scenario patembayan. Akibatnya, isu Nusa Utara hanya terantuk sebatas “tunggangan transaksional” bagi kepentingan individual dan parsial.

Pasca kekuasaan politik di genggam, isu kolektifitas Nusa Utara di parkir dalam garasi-garasi apatisme dan pesimisme.

Akibatnya, kita seringkali menjumpai realitas solidaritas nusa utara makin terkotak-kotak oleh karena segregasi warna kepentingan politik. Sejujurnya, bukan juga berarti patembayan jauh lebih baik dari paguyuban.

Tapi, kerap kali, kurang matangnya dalam menempatkan sisi paguyuban dan patembayan pada rel-nya masing-masing memicu bumerang fatal bagi basis nusa utara sendiri.

Setiap kali rezim baru berkuasa atau rezim lama berakhir, akan selalu memicu residu berbentuk pembelahan sosial yang lahir karena luka-luka konflik politik.

Oleh karena itu, melalui tulisan ini, saya ingin menyajikan sebuah catatan aspiratif terkait keterwakilan Nusa Utara di momentum pilkada Sulut 2024, yaitu:

Pertama, kita butuh figur perekat yang inklusif dan egaliter dan menanggalkan jubah elitis yang ekslusif

Bagikan:

Artikel terkait

Terpopuler

Peluang dan Tantangan Menjadi Kepala Daerah di Kabupaten Kepulauan Sangihe: Pilkada...

Suara Redaksi

Refleksi Hari Kartini: Juita Baraming, Perempuan Sangihe yang Menata Harapan Lewat...

Sangihe

Beri Pesan Tegas Usai Lantik Pj Kapitalaung, Thungari: Pemdes Denyut Utama...

Sangihe

Dilema Angka Stunting Sangihe

Suara Sangihe

Pahlawan Tanpa Sorotan: Dari Laut Talise, Nelayan Menjemput Nyawa Sebelum Negara...

Kolom

Terkini