
Manado, lintasutara.com – Narasi yang lagi “viral” tentunya menjadi otoktritik untuk membangun Talaud yang lebih baik ke depan. Tapi dalam konteks metodologi penelitian, membandingkan antara Manado dan Talaud bukanlah perbandingan yang “apple to apple”, mengingat manado adalah pusat/ibu kota dan Talaud adalah wilayah perifer (perbatasan). Dan juga, Talaud yang adalah bagian dari kawasan Nusa Utara (termasuk Sangihe/Sitaro) memiliki topografi wilayah berbeda dgn 13 kab/kota lainnya di provinsi Sulut. Kawasan Nusa Utara memiliki topografi wilayah berbasis kepulauan yang membentang sebagai gugus perbatasan NKRI, sedangkan 13 kab/kota lainnya (termasuk Manado) memiliki topografi wilayah dalam satu daratan yang saling terhubung.
Pada akhirnya, menciptakan sebuah perbandingan data yang tak setara secara ilmiah. Wilayah pusat berbasis daratan memiliki aksesibilitas yang baik sehingga mobilisasi logistik pembangunan lebih mudah di lakukan. Wilayah pusat yang juga di dukung kelengkapan infrastruktur publik yang lebih memadai, hal ini membuat sebaran sektor swasta lebih merata mendorong peningkatan PDRB.
Sebaliknya, wilayah perifer yang tergolong wilayah kepulauan dan gugus perbatasan terkendala dgn masalah interkonektivitas antar wilayah. Dengan demikian, akses dan mobilitas logistik pembangunan belum berjalan baik. Belum lagi, defisitnya infrastruktur publik kian mengendala di kawasan perifer ini. Sebaran wilayah “blind spot” yang membuat jaringan telekomunikasi terhambat turut menjadi kendala. Kinerja pemerintah daerah hanya salah satu faktor, tapi masalah wilayah tadi turut menciptakan kompleksitas yang tak bisa di pecahkan dgn kebijakan “hit and run”. Tak heran, jika aglomerasi sektor swasta di kawasan perifer mengecil. Otomatis, sektor swasta lokal blm bsa berperan maksimal menyumbang peningkatan PDRB.
Demokrasi menjamin kebebasan berpendapat dalam ruang publik, lepas benar atau salah, jika opini yang di sampaikan sudah menyentil identitas suku, agama, ras dan golongan, maka jangan heran jika ada reaksi publik. Dan, data pendukung yang di gunakan haruslah “apple to apple” yang secara prinsip mewakili kondisi obyektif di lapangan. Bahkan, sekalipun dalam opini tersebut memuat unsur obyektif, tapi penyampaiannya parsial sedangkan dalam ruang publik terkandung persepsi publik yang sifatnya heterogen, maka jangan kaget jika memicu respon kontroversi dari persepsi publik tadi. Kadang kita perlu belajar menempatkan “eufisme” yang tepat ketika menyampaikan pendapat dalam ruang publik.