Jakarta, Lintasutara.com – Center for Strategic and Global Studies Universitas Bung Karno (CGGS UBK) mengadakan audiensi dan diskusi dengan pimpinan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) di Kantor Pusat BP2MI, Kamis (09/03/2023). Kedua pihak membahas isu migrasi internasional yang menjadi isu strategis dalam diskusi dan kajian disetiap negara yang sejalan dengan peningkatan arus dan volume tenaga kerja lintas negara.
Tim CGS UBK disambut Rinardi selaku Sekretaris Utama (Sestama) BP2MI mewakili Kepala BP2MI bersama Kepala Biro Humas dan Hukum BP2MI, Hadi Wahyuningrum. Dari Universitas Bung Karno hadir Robert Mubarrod selaku Kepala Program Studi Ilmu Politik yang mewakili Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik serta Direktur CGGS UBK Harsen Roy Tampomuri.
Tim CGGS UBK juga terdiri dari para dosen, mahasiswa, dan perwakilan divisi riset, kerja sama dan humas CGGS UBK. Audiensi dilengkapi dengan diskusi tematik yang sangat ramai saling memberi tanggapan antara pihak BP2MI dan CGGS UBK. Secara khusus, kedua pihak mendiskusikan “Globalisasi dan Perdagangan Manusia” dengan ulasan berbagai data serta informasi aktual.
Dalam diskusi tersebut, Sekretaris Utama (Sestama) Rinardi menyatakan bahwa menurut amanat UUD NRI pasal 27 ayat (2), ‘tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’.
“Sehingga negara harus hadir untuk mensejahterakan rakyat. Lindungi pekerja migran Indonesia dari ujung rambut sampai ujung kaki, sebagaimana instruksi dari Presiden Joko Widodo,” tegas Rinardi.
Menurutnya, saat ini negara benar-benar mengglorifikasi Pekerja Migran Indonesia (PMI) dengan keberangkatan yang dibuat se-ekslusif mungkin. Hal ini mengingat bahwa para PMI merupakan pahlawan devisa bagi Indonesia. “Sumbangan PMI bagi negara sangatlah besar, pada tahun 2019 tercatat 159,6 T, 2020 130,2 T, 2021 127,4 T dan pada kuartal 1 2022 sebesar 34,1 T,” jelasnya.
Rinardi menambahkan, penempatan pekerja migran ilegal berisiko pada kekerasan fisik, kekerasan seksual, gaji tidak dibayarkan, pekerjaan tidak sesuai dengan perjanjian kerja, dan ekspolitasi jam kerja.
“Rekomendasi dalam penanganan/pencegahan yakni dengan meningkatkan kewaspadaan di Perbatasan dan pengetatan pengawasan di jalur udara. Sedangkan penegakan hukumnya dapat dilakukan dengan revitalisasi gugus tugas TPPO dan menjerat otak pelaku (master mind),” ujar Rinardi.
Baca Juga: CGGS UBK Diskusikan Kudeta Militer Indonesia dalam Perspektif Intelijen
Direktur CGGS UBK Harsen Roy Tampomuri membuka pemaparannya dengan kutipan dari Soekarno “Dimana perbudakan berada, di sana tidak ada kebebasan; dan dimana kebebasan berada, perbudakan pun tidak ada.” Menurutnya, banyak hal sudah dilakukan oleh pemerintah tapi masih banyak juga yang masih perlu dilakukan dengan merangkul berbagai pihak untuk kolaborasi termasuk bersama perguruan tinggi.
“Masalah pekerja migran Indonesia kini sangat beragam, baik pekerja yang un-educated, un-skilled, non-procedural maupun simpang siur data pekerja migran. Data laporan Bank Dunia terkait pekerja global Indonesia, tercatat angka 9 juta PMI yang tersebar di seluruh dunia namun hanya ada 4.664.520 per Maret 2023 yang tercatat penempatan resmi dalam Sistem Komputerisasi untuk Pelayanan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia,” ungkap Harsen.

Baginya perbedaan angka yang signifikan menunjukkan angka non-prosedural yang banyak dan mengakibatkan kurang maksimalnya pelindungan bagi PMI, minimnya pengasuhan terhadap anak dan keluarga PMI (parenting), tidak optimalnya pengelolaan remitansi dan kehidupan PMI pasca dari luar negeri. Harsen mendorong pelindungan pekerja migran Indonesia secara komprehensif baik pra keberangkatan, saat penempatan dan pasca atau purna PMI.
“Jangan sampai pekerja migran Indonesia masuk dalam siklus global human trafficking dan perbudakan jenis baru yang tentunya melanggar hukum serta hak asasi manusia. Sejarah di Indonesia mencatatkan perempuan dan anak sebagai kelompok rentan meski ada juga pria yang menjadi korban,” tutur Harsen.
“Trafficking bahkan sudah terjadi sejak zaman kolonial Belanda, kemudian Jepang hingga sekarang dan mungkin sudah pernah terjadi juga sebelum zaman kolonial Belanda. Artinya isu human trafficking merupakan masalah krusial yang perlu ditangani dan diberikan solusi secara berkelanjutan,” imbuhnya.
Harsen menjelaskan bahwa lebih dari satu dekade Indonesia menjadi negara pemasok tenaga kerja migran terbesar kedua di dunia. Sehingga perhatian pada isu pekerja migran termasuk globalisasi dan perdagangan manusia harus menjadi perhatian.
Pada kesempatan itu, pihaknya menawarkan 4 pendekatan dalam upaya pelindungan dan pemberdayaan PMI yakni community empowerment, community parenting, community protecting dan community integrating.
Selanjutnya, salah satu tanggapan menarik dari mahasiswa yang hadir, yakni Koordinator Divisi Riset CGGS UBK Deby Abi Yanto terkait biaya yang harus dikeluarkan oleh calon PMI.
Semisal untuk tujuan Korea, kata Deby, PMI harus membayar biaya pelatihan di Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) yang tidak sedikit yakni hingga Rp. 20 juta. Biaya itu salah satunya untuk membayar kursus Bahasa Korea.
Selain pelatihan bahasa, para PMI tujuan Korea juga ditarik biaya penempatan yang tidak sedikit. PMI dibebani biaya penempatan dan pelatihan yang berpotensi menjadi jerat hutang dan berakibat pada pemotongan gaji.
“Praktik ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Dalam Pasal 30 disebutkan bahwa ‘Pekerja Migran Indonesia tidak dibebani biaya penempatan’. Selanjutnya Pasal 39, 40, dan 41 mengamanatkan kepada pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten kota untuk memfasilitasi pelatihan Calon Pekerja Migran Indonesia melalui pelatihan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan,” tegas Deby.
(Andra)
TEMUKAN BERITA TERBARU LINTASUTARA.COM DI GOOGLE NEWS