Sejumalah Aktivis Nasional Siap “Turun Gunung” Bantu Ahli Waris Alexander De Gorio di Malut

Malut, Lintasutara.com — Dukungan untuk ahli waris Alexander De Gorio juga datang juga dari kalangan aktivis, tidak hanya asal Maluku Utara, aktivis dari berbagai provinsi berempati terhadap perjuangan  ahli  waris Alexander de Gorio.

“Kami anggap ini masalah serius, masalah nasional. Kawasan industri PT IWIP yang ditetapkan Presiden Jokowi sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) harus menyelesaikan permasalahan yang melilit pembelian lahan. Jangan rakyat kecil yang jadi korban,” ujar Stanley Suprapto, aktivis asal Bandung, Jawa Barat (Jabar).

Stanley pun menyatakan dirinya siap terjun dan berjuang bersama ahli waris Alexander de Gorio.

“Beberapa rekan mau bergabung. Kami tidak ingin ada masyarakat kecil yang dizolimi,” ucapnya.

Kesiapan bergerak juga disampaikan Akbar asal Jakarta. Mantan aktivis mahasiswa itu siap membawa kasus ini ke DPR RI dan instansi terkait di pusat .

“Kita butuh investasi, kita berterimakasih jika investor dan perusahaan lain masuk ke Indonesia. Namun, perlu diingatkan jangan sampai kehadiran mereka  meminggirkan rakyat kecil,” ujar Akbar.

Sementara itu, Yamin Makasuang aktivis yang kerap membongkar kasus korupsi di kawasan Indonesia Timur berjanji menurunkan tim untuk unjuk rasa di Jakarta.

“Jangan anggap remeh rakyat kecil. Kami akan berjuang bersama ahli waris demi terwujudnya keadilan,” ucap Yamin.

Diketahui turunan ahli waris Alexander de Gorio dan Usman de Gorio sudah ditetapkan sebagai pemilik sah lahan di Desa Lelilef.

Hal ini mengacu pada penetapan Pengadilan Agama Soasio, Malut nomor 20/Pdt.O/2020/PA.SS tertanggal 6 Mei yang ditandatangani Mursal Ayub Sag selaku panitera.

Melalui surat tersebut disebutkan Johan de Gorio, Sarah Usman de Gorio, Muchlis de Gorio, Jufri de Gorio dan Nurdiana de Gorio serta sembilan cucu dari kelimanya merupakan pewaris sah lahan milik Alexander de Gorio dan Usman de Gorio.

Kepemilikan atas tanah yang membentang di kawasan pertambangan itu makin kuat dengan adanya egeindom verbonding eugendom verb no 64 yang diterbitkan di Manado 18 Desember 1924.

“Tanah itu jelas milik leluhur kami Alexander de Gorio dan Usman de Gorio,” kata Nuraini, anak dari Sarah de Gorio.

Nur berkisah jika jeritan mereka selama ini tak didengar. Tangisan mereka mengiringi perjalanan investasi tak sedikit yang digelontorkan perusahaan yang dipimpin sejumlah eksekutif asal Cina itu.

Tapi, mereka terus memendam asa dan percaya suatu saat keadilan itu akan datang. Melalui media, kelima ahli waris dan sembilan cucu yang disebutkan dalam penetapan Pengadilan Agama Soasio tersebut berharap realita yang sesungguhnya terjadi bisa sampai ke Presiden Jokowi.

“Kami tak tahu harus bagaimana. Namun kami tetap memendam asa bisa mendapatkan apa yang menjadi hak kami,” ucap Nur, sapaan akrab Nuraini.

Pengaduan Nur dan para ahli waris Alexander de Gorio ke Jokowi melalui media bisa dimaklumi, di berbagai kesempatan, Presiden Jokowi menginstruksikan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), seluruh kepala daerah dan Kapolda menggebuk mafia tanah yang mencoba mempermainkan masyarakat.

Orang nomor satu di Indonesia itu berharap pemberantasan  mafia tanah menjadi prioritas. Pertimbangan  Jokowi, para  mafia tanah itulah yang sering menyulitkan  masyarakat dalam mengurus sertifikat.

“Saya sudah sampaikan ke Pak Menteri Hadi Tjahjanto agar tidak  memberi  ruang bagia mafia tanah menjalankan aksinya. Ini menyangkut hajat hidup orang banyak, yaitu rakyat,” ujar Persiden RI Jokowidodo saat memberi sambutan usai menyerahkan 1.552.450 sertifikat hak atas tanah untuk rakyat di Istana Negara, Jakarta, akhir Desember lalu 2022 lalu.

Penegasan Jokowi itulah yang memberi harapan bagi Nur dan semua keluarga ahli waris Alexander de Gorio untuk bisa mendapatkan hak mereka kembali. “ Kami percaya suatu saat keadilan itu datang,” ucapnya.

Nur sendiri mengakui jika sempat ada pihak lain yang sudah memalsukan dan menjual lahan milik mereka itu. Pihak yang dimaksud itu adalah Felix Baay.

“Felix Baay masih keluarga dekat kami juga. Dulu orang tua kami Usman de Gorio menitipkan surat-surat kepemilikan lahan ke Abdullay Baay, orang tua Felix Baay.

“Ketika itu anak-anak dari Usman de Gorio masih kecil-kecil,” urai Nur.

Sayangnya surat-surat berharga itu justru tidak dikembalikan ke pemilik yang sah, Felix Baay malah menjual kurang lebih 20-an hektar yang berisikan kebun kelapa  ke PT Weda Bay Nickel (WBN) dan PT IWIP seharga Rp2,5 miliar.

Atas terjadinya transaksi tersebut, Johan de Gorio dan empat ahli waris lainnya serta warga yang mengetahui status kepemilikan itu melakukan aksi  demonstrasi. Namun, massa tidak bisa berbuat apa-apa karena PT IWIP dan PT WBN menggunakan bantuan pengamanan.

“Selaku ahli waris, kami merasa yakin Felix Baay dan orang-orang tertentu dari PT WBN/PT IWIP, bahkan instansi terkait telah melakukan tindakan disengaja ataupun tidak disengaja menghilangkan hak-hak dari warisan leluhur kami,” ungkap Nur.

Para ahli waris mengaku sempat lega saat Kejaksaan Tinggi Malut mengeluarkan surat nomor: B-259/Q2.4./Eku/2021 tentang pengembalian berkas perkara atas tersangka Felix Baay alias Hi Felik yang disangka melanggar pasal 263 ayat 1 dan 2 atau pasal 372 KUHPidana.

Di surat yang ditujukan ke Ditreskrimum Polda Malut itu, Kajati Malut antara lain berharap dilakukan penyitaan surat asli penjualan kebun kelapa di Lelilef, Kewedan Utara, Malut, 28 Juni 1963. Di surat yang ditandatangani Asisten Tindak Pidana Umum Kejati Malut, Saiful Bahri SH, MH pada 2 Juli 2021 itu disebutkan pula bahwa tersangka disangkakan dengan pasal 372 KUHP yang memililiki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain.

“Sudah ada penyebutan tersangka untuk Felix Baay. Sebenarnya ini petunjuk kalau semua transaksi yang dilakukan Felix Baay itu tidak benar. Ada pemalsuan dokumen,” kata Nur.

Sampai saat berita ini di naikan, Felix Baay enggan memberikan pernyataan. Felix dan istrinya disertai Fanny salah satu anaknya saat ditemui di rumahnya, Selasa (14/2/2023) sempat menceritakan kisah menurut versi mereka. Tapi mereka meminta untuk tidak diekspos.

“Maaf kami tidak mau diekspos, sudah ada pengacara kami yang menangani ini,” ujar Felix.

Sementara pemerhati sosial Amas Mahmud yang kini menetap di Jakarta menyayangkan kebijakan dan sikap PT IWIP tersebut. Seharusnya menurut Amas, investasi besar itu berbanding lurus dengan pemenuhan hak-hak atas kepemilikan tanah dan kesejahteraan masyarakat.

“Terima kasih untuk investasinya, tapi tolong selesaikan dugaan salah bayar pembelian lahan yang saat ini sebagian sudah dimanfaatkan PT IWIP untuk perkantoran, smelter, power plan dan lainnya.  Saya percaya manajemen PT IWIP bisa menuntaskan ini,” ucap Amas.

Pimpinan PT IWIP saat dikonfirmasi melalui telepon Whatsup enggan memberikan komentar. 

Media ini sudah berupaya meminta tanggapan ke Vice President PT IWIP Kevin He dan HRD Roslina Sangadji melalui layanan whatsapp, namun tak direspon. Manajemen PT IWIP memilih bungkam.

Bahkan upaya konfirmasi langsung di Kantor PT IWIP di Weda tidak dilayani.

“Kalau belum ada janjian, tidak bisa masuk,” kata Nasrul Ahmad yang dibenarkan Marvil Muhammad dan Robert M, security di Gate Satu PT IWIP.

Sebelumnya General Manager External Relations & Human Resource PT Weda Bay Nickel (WBN)/ PTIWIP Yudi Santoso ketika dihubungi mengaku tidak tahu soal ini.

“Kalau soal tanah, saya tidak tahu,”  singkat Yudi.

(***/Ardy)

Bagikan:

Artikel terkait

Tinggalkan Komentar

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terpopuler

Peluang dan Tantangan Menjadi Kepala Daerah di Kabupaten Kepulauan Sangihe: Pilkada...

Suara Redaksi

Beri Pesan Tegas Usai Lantik Pj Kapitalaung, Thungari: Pemdes Denyut Utama...

Sangihe

Refleksi Hari Kartini: Juita Baraming, Perempuan Sangihe yang Menata Harapan Lewat...

Sangihe

Pahlawan Tanpa Sorotan: Dari Laut Talise, Nelayan Menjemput Nyawa Sebelum Negara...

Kolom

Dilema Angka Stunting Sangihe

Suara Sangihe

Terkini