Catatan Otokritik Etis Keterwakilan Politik dari Wilayah Nusa Utara

Tema seperti di atas bisa memicu multitafsir dan persepsi dalam ruang publik Nusa Utara, baik secara teritorial terkait dapil politis ataukah secara entitas etnis.

Opini publik tersebut bisa saja menyeruak dari yang bersifat independen hingga yang bersifat tendensius. Hal tersebut harus di pahami sebagai kondisi normatif dalam alam demokrasi.

Dalam kelaziman demokrasi tersebut, kita wajib paham, bahwa hak dipilih dan hak menentukan pilihan secara politis juga digaransi oleh konstitusi. Sehingga, siapapun punya hak untuk dipilih dan menentukan pilihan secara politis, dengan ketentuan tidak melanggar aturan hukum dan bertanggung jawab secara etis demokrasi.

Akan tetapi, ada beberapa catatan otokritik etis yang mutlak menjadi pertimbangan serius, hal ini dalam kaitan upaya konsolidasi politik untuk penentuan representasi aspirasi warga Nusa Utara dalam parlemen, baik di tingkat parlemen daerah (kabupaten/kota/provinsi) atau perlemen pusat (DPR RI dan DPD RI).

Ada tiga kondisi kritis yang wajib kita cermati, baik sebagai konstituen politik atau figur sentral yang berkompetisi secara politis, yaitu: grassroot yang pesimis, kultur politik yang transaksional, dan grassroot yang rasional.

Grassroot yang pesimis

Pengalaman “habis manis, sepah di buang” setiap kali kontestasi politik, meninggalkan luka mendalam dan kronis dalam memori warga Nusa Utara. Fenomena ini kental terasa bukan hanya di tatanan grass root tapi juga para tokoh sentral non-parpol.

Akibatnya, sinisme dan pesimisme kian mengkristal karena berkali-kali disuguhkan teladan buruk dari para figur politik yang menyandang label Nusa Utara. Sinisme dan pesimisme ini sudah seperti tembok tebal dengan tombol aktif otomatis. Artinya, ketika menjelang kontestasi politik, para figur yang punya visi politik mendadak berubah dari sosok elitis menjadi egaliter.

Sontak, perilaku hipokrit tersebut mengaktifkan “tombol otomatis” dari tafsir apriori yang sangat tajam. Mereka yang punya visi politik harus legowo untuk mawas diri terhadap realita ini. Meski, warga Nusa Utara sudah banyak berdiaspora di luar dari kabupaten induk (Sangihe, Talaud, Sitaro), tapi mereka yang tersebar di Minahasa Raya, Bolmong Raya bahkan luar negeri tetap memiliki endapan “social dignity” yang kental.

Ketika “social dignity” ini dilukai atau dilecehkan, maka fatal akibatnya karena akan memicu stigma penuh resistensi yang akut (butuh waktu lama untuk sembuh, bahkan untuk sembuh pun bukan hal yang mudah).

Kultur politik yang Transaksional

Figur karbitan yang muncul mendadak tanpa adanya upaya merajut “grassroot chemistry” secara alami, akan berhadapan dengan resiko biaya politik yang mengalami obesitas. Mesin politik terpaksa di kontruksi secara mendesak demi mengejar penalti jadwal pemilu. Otomatis, konsekuensi logisnya akan membuat “biaya politik” menjadi “politik biaya” (politik transaksional melalui politik uang).

Realitas ini yang membuat kultur politik kita menjadi sangat opurtunis bak “lapak dagang”. Dilema kultur transaksional ini terpaksa di jawab oleh para figur dengan melibatkan “bargaining” dengan para cukong penguasa modal. Simbiosis opurtunis ini akan membuat rakyat tidak lebih dari “produk elektoral” yang di jual belikan.

Akibat tragisnya, pada saat figur menggenggam suksesi politik, prioritas aspirasi rakyat akan sulit di perjuangkan. Mengapa? Konsekuensi balas jasa politik terhadap cukong harus di selesaikan. Dan, pada akhirnya, hanya akan terjebak dalam peran politisi “pemburu rente” lewat upeti proyek-proyek pelat merah.

Praktek “serangan fajar” mengubah demokrasi menjadi lapak dagang yang riuh dengan tawar menawar opurtunis. Demokrasi kian hiruk pikuk seperti “pasar” yang penuh sesak dengan “obrolan politik” sekaligus “obralan politik” secara murahan. Dan secara pasti, politik transaksional tidak akan pernah melahirkan figur ideal. Karena merasa sudah membeli “suara rakyat” dengan “amplop”, tanggung jawab memperjuangkan aspirasi rakyat secara kolektif bukan lagi keharusan.

Grassroot yang Rasional

Selain dua catatan sebelumnya, masih ada populasi akar rumput yang masih jernih bergagasan secara rasional. Kelompok ini bisa sangat tajam dalam kritik atau otokritik. Tapi hal ini bukan manifestasi dari pesimisme, sinisme dan apatisme. Kelompok ini adalah mereka yang berlogika merdeka, karena mereka memiliki hasrat untuk menjaga nilai prinsip tidak bias dengan apologi politik yang membodohi masyarakat.

Politisi yang benar-benar pro-rakyat tidak akan pernah mencap kelompok ini sebagai ancaman” yang harus di “musuhi”. Bahkan, dalam beberapa kasus, kelompok ini berusaha dilenyapkan karena di anggap sebagai “gulma politik” yang sangat mengusik para politisi korup.

Dalam atmosfer demokrasi yang sehat, kelompok ini tetap di butuhkan sebagai fungsi pengawasan di tingkat akar rumput dan elit. Ketika politik kehilangan “sense of humanity” dan “freedom of mindset”, politik akan menjelma seperti senjata pemusnah massal yang akan menciptakan genosida secara sosio-ekonomi dan sosio-kultural dalam masyarakat.

Oleh karena itu, mereka yang bertekad maju dalam arena tarung politik dari ruang publik Nusa Utara, wajib menyadari peran vital mereka sebagai “penyambung suara rakyat”. Sebagai penyambung suara rakyat, maka organ tubuh yang di gunakan adalah “lidah”. Organ lidah hanya ada satu, sedangkan telinga dan mata ada dua. Itu artinya, sebelum satu kali menggunakan “lidah” sebagai wakil rakyat, wajib dua kali mendengar dan dua kali melihat akan kondisi real masyarakat Nusa Utara.

Pastikan sejak dini untuk melihat Nusa Utara sebagai “barak perjuangan” jangka panjang dan bukan “lapak dagang opurtunis” jangka pendek secara temporer. Mereka yang menyandang visi politik perubahan, harus siap menghadapi tiga catatan kondisi di atas. Jangan terintimidasi karena opini kritis atau otokritik yang bakal bermunculan dari basis akar rumput.

Gunakan catatan kritis tersebut sebagai proses merakit solusi strategis dalam membumikan “transformasi holistik” di atas bumi Nusa Utara. Berbagai ruang diskusi kritis yang bersifat formal maupun non formal terkait tema seperti ini harus menjadi “daseng sejuk”. Di bawah satu atap kesejukan kita mengedepankan gagasan penuh “argumen konstruktif”, dan bukan penuh provokasi “sentimen tendensius”. Apalagi, posisi sentral Nusa Utara sebagai kawasan perbatasan di wilayah Pasifik membutuhkan penguatan pembangunan berbasis kawasan terintegrasi.

Meskipun Kabupaten Sangihe, Kabupaten Talaud dan Kabupaten Sitaro sudah memiliki dapur otonomi masing-masing. Ketiga wilayah tersebut memiliki ikatan koherensi yang erat secara sosio-kultural, baik secara historis maupun kekinian. Geoposisi Nusa Utara sebagai perbatasan Indonesia di Pasifik mengandung “janin potensi” geoekonomi dan gepolitik yang sangat strategis, bukan hanya secara internal domestik tapi juga secara eksternal dalam lanskap kawasan pasifik.

Isu sentral seperti ini masih perlu sentuhan riset komprehensif dan butuh kekuatan politik kolektif untuk menciptakan “payung kebijakan strategis”. Akankah para elit yang mewakili Nusa Utara bisa menjadi “bidan” agar “janin potensi” yang saya sebut sebelumnya bisa di lahirkan dalam alam nyata? Apakah semua kegelisahan kritis yang sudah di bahas panjang lebar di atas bisa terjawab? Entahlah…,Akankah waktu yang berlalu bisa menjawab? Entahlah…, Mungkin kita bisa bertanya pada rumput yang bergoyang.

*Tulisan ini merupakan opini penulis. Seluruh konsekuensi yang muncul dari tulisan ini menjadi tanggung jawab penulis.

Bagikan:
Artikel sebelumnya
Artikel berikutnya

Artikel terkait

Tinggalkan Komentar

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terpopuler

Peluang dan Tantangan Menjadi Kepala Daerah di Kabupaten Kepulauan Sangihe: Pilkada...

Suara Redaksi

Beri Pesan Tegas Usai Lantik Pj Kapitalaung, Thungari: Pemdes Denyut Utama...

Sangihe

Refleksi Hari Kartini: Juita Baraming, Perempuan Sangihe yang Menata Harapan Lewat...

Sangihe

Pahlawan Tanpa Sorotan: Dari Laut Talise, Nelayan Menjemput Nyawa Sebelum Negara...

Kolom

Dilema Angka Stunting Sangihe

Suara Sangihe

Terkini