Penulis: Johnny Alexander Suak, S.E,.M.Si
Fragmentasi Penyelenggaran Pemilu dan pemilihan serentak 2024 saat ini masih menggunakan desain kepemiluan yang saat ini berdasar pada Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilu serta Undang-Undang 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan memberi tambahan kerja ekstra bagi penyelenggara pemilu terutama pengawas pemilu.
Pada 2024 akan diselenggarakan pemilihan legislatif (pileg), pemilihan presiden (pilpres), dan pilkada. Ketiga pemilihan tersebut akan berjalan secara maraton.
Pileg dan Pilpres akan digelar pada tanggal 14 Februari 2024, berdasarkan kesepakatan antara penyelengara dan pemerintah. Hal itu berarti Tahapan Pemilu telah dimulai pada bulan Juni 2022 atau 20 bulan sebelum pemungutan suara dilaksanakan.
Sedangkan Pilkada akan digelar pada tanggal 27 November 2024. Tahapannya dimulai 11 bulan sebelum pemungutan suara atau pada Desember 2023.
Keserentakan Pemilu dan pemilihan 2024 berkonsekuensi terjadi irisan tahapan yang bersamaan. Sehingga akan menjadi tantangan tersendiri bagi Bawaslu dan KPU ditambah masa pandemi yang belum usai, akan semakin menambah kerja berat penyelenggaraan Pemilu.
Tantangan Pemilu 2024
Tantangan Pemilu 2024 menjadi tiga hal yakni masalah makro, masalah teknis, dan masalah SDM ad hock.
Masalah makro adanya ketentuan dalam UU pemilu dan pilkada yang multitafsir membuat penyelenggara rentan dipersoalkan secara etik bahkan pidana. ini yang akhirnya ada yang ke DKPP dan pengadilan pidana.
Lalu, permasalahan teknis. Pertama irisan tahapan antara pemilu dan pilkada. Kedua kesulitan akses jaringan teknologi informasi di berbagai daerah terutama wilayah Indonesia timur.
Ketiga, kendala geografis di daerah yang terisolir, dan keempat yakni keterbatasan waktu rekapitulasi penghitungan suara dan pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU).
“Misalnya dalam IT adjudikasi yang bersifat video conference agak sulit di Indonesia timur padahal pada saat pandemi seperti ini yang video conference bisa dilakukan.”
Selanjutnya, permasalahan SDM ad hoc yaitu kesulitan rekruitmen SDM adhoc dan kapasitas SDM adhoc dalam melaksanakan persiapan dan pelaksanaan pungut hitung.
Strategi dan Antisipasi
Dalam kesempatan ini diperlukan strategi dan antisipasi yang harus dilakukan oleh Bawaslu dan Jajarannya sebagai berikut:
Strategi pertama yang harus dilakukan yakni pengaturan jeda waktu yang proporsional antara pemilu dan pilkada.
“Ini juga yang harus dihitung dengan benar, kalau ada putaran kedua bagaimana.”
Strategi kedua perlu adanya sosialisasi yang efektif seluruh jenis pemilu dan pilkada.
Strategi Ketiga penyamaan persepsi antar penyelenggara baik KPU, Bawaslu, dan DKPP dengan melakukan identifikasi potensi masalah teknis dan hukum serta kerangka penyelesaiannya,
Strategi Keempat adalah optimalisasi sarana pengawasan Bawaslu dan pengawasan partisipatif.
Ada beberapa antisipasi yang harus dilakukan, pertama, penguatan SDM pengawas pemilu, kedua menggalakan Sekolah Kader Pengawasan Partisipatif (SKPP), dan ketiga mengintensifkan koordinasi antar penyelenggara dan antara penyelenggara dengan intansi penegak hukum pemilu lainnya yang berfokus pada identifikasi potensi masalah teknis dan hukum serta kerangka penyelesaiannya serta libatkan elemen masyarakat dalam pengawasan partisipasi masyarakat.
Adigium yg harus jadi pedoman bagi Bawslu dan jajarannya ke depan kita tidak bangga dengan penanganan pelanggaran administrasi yang banyak misalnya, pelanggaran-pelanggaran yang kecil misalnya salah pemasangan baliho tidak usahlah masuk dalam pelanggaran adminitrasi cukup diselesaikan di lapangan melalui penyelesaian sengketa antara peserta dan penyelenggara.
Tantangan Bawaslu Dalam Pengawasan Tahapan Pemilu
Bagi Penyelenggara Bawaslu dan jajarannya, setidaknya terdapat beberapa tantangan besar dalam pengawasan tahapan pemilu 2024.
Pertama, masalah regulasi dalam kerangka penegakan hukum Pemilu.
Dalam Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pasal yang mengatur tentang subjek hukum pelanggaran terkesan parsial dan cenderung sulit untuk diterapkan.
Seperti bunyi pasal 523 ayat (1) terkait politik uang dimasa kampanye, subjek hukum yang digunakan adalah “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu”. Mereka harus terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan bukti Surat Keputusan.
Sementara di lapangan, kasus pemberian politik uang dilakukan oleh relawan atau orang suruhan yang tidak terdaftar di KPU sebagai pelaksana atau tim kampanye. Sehingga dalam penanganan pelanggaran tidak dapat dijerat dengan pasal tersebut.
Problem kedua adalah sedikitnya jumlah pengawas ad-hoc di tingkat kecamatan, kelurahan/desa, dan di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Sebagai contoh, pengawas kelurahan/desa (PKD) yang jumlahnya satu orang. Ia harus mengawasi satu kelurahan, dimana di setiap kelurahan ada yang terdapat 30-40 TPS. Belum ditambah masalah SDM para PKD dan Pengawas TPS.
Luasnya area pengawasan ini, belum ditambah dengan beban ketika terjadi irisan tahapan antara Pemilu dan Pilkada.
Ketiga Masalah selanjunya adalah berakhirnya masa jabatan anggota Bawaslu Kabupaten/Kota pada tanggal 18 agustus 2023.
Hal ini tentunya akan mengganggu psikologis pengawasan tahapan, dimana akan terjadi rekrutmen anggota Bawaslu kabupaten/kota di tengah atau bahkan di pucak tahapan.
Tentunya orang-orang yang akan terpilih adalah mereka yang harus memiliki pengalaman yang kuat. Karena mereka dituntut untuk melanjutkan proses pengawasan di masa-masa pucak tahapan.
Terakhir adalah ekosistem politik yang tidak menentu. Bagi penyelenggara Pemilu khususnya Bawaslu, kontestasi juga menjadi salah satu instrumen untuk mengukur kerawananan Pemilu.
Indikatornya adalah sejauh mana kesadaran politik dan demokrasi yang tumbuh dalam suatu daerah. Apakah sudah menunjukan kedewasaan berpolitik, atau cenderung masyarakat apatis terhadap politik itu sendiri.
Hal ini menjadi tantangan tersendiri di luar pengawasan tahapan yang dilakukan Bawaslu.
Sebagai contoh, politik identitas yang secara massif diartikulasikan bagi kelempok tertentu dalam struktur politik. Akan menimbulkan kegaduhan sosial, yang akan menggagu berjalannya tahapan.
Apalagi jika disudutkan dengan identitas keagamaan, sehingga sensitivitas masyarakat akan semakin tinggi.
Masyarakat Harus Terlibat dalam Pengawasan Pemilu Serentak 2024
Pelibatan masyarakat (didalamnya KNPI Sulut) dalam sebuah ekosistem politik adalah bagian dari konstitusi, dan pengejawatahan dari demokrasi itu sendiri.
Bagi Bawaslu, ukuran partisipasi masyarakat bukan hanya diukur dari datangnya ke TPS ketika hari pemungutan suara. Namun, masyarakat memiliki hak untuk menjaga kualitas Pemilu dari kecurangan. Partisipasi pengawasan harus menjadi rohh bagi masyarakat.
Untuk menjawab persoalan dan tantangan di atas, meningkatkan pengawasan partisipatif adalah uapaya serius dalam menjaga kualitas demokrasi dan Pemilu.
Sehingga masifikasi program pengawasan partisipatif terus digulirkan dan dimodivikasi.
Salah satu inisiasi Bawaslu dalam meningkatkan partisipasi pengawasan adalah mengembalikan dan menghidupkan simpul dan kearifan lokal yang selama ini telah hidup di masyarakat.
Ruang komunikasi dan diskusi di masyarakat seperti masjid, pos ronda, dan warung kopian adalah sarana paling efektif dalam mensosialisasikan dan membangun kecerdasan politik di tingkat masyarakat.
Tentunya harus ada agen-agen pengawas partisipatif yang diterjunkan dan sudah memiliki bekal untuk memberi warna dalam ekosistem politik di masyarakat.
Kader sekolah pengawas partisipatif yang telah tersebar di berbagai kecamatan. Mereka terdiri dari anak-anak milenial idealis yang telah didik Bawaslu menjadi harapan untuk menyebarkan virus-virus pencerahan bagi masyarakat.
Sehingga output yang diharapkan adalah, masyarakat mau terlibat dalam pengawasan tahapan Pemilu. Minimlanya, mereka berani melaporkan atau memberi informasi awal kepada Bawaslu jika terdapat dugaan pelanggaran Pemilu.
Meningkatkan Partisipasi Masyaakat
Partisipasi politik yang merupakan pengejawantahan kedaulatan rakyat adalah suatu hal yang sangat fundamental dalam proses demokrasi. Salah satu misi Bawaslu adalah mendorong pengawasan partisipatif berbasis masyarakat sipil dalam rangka menjawab tantangan Pemilu dan Pemilihan serentak 2024. Pelibatan masyarakat dalam pengawasan Pemilu harus terlebih dulu melalui proses sosialisasi dan transfer pengetahuan dan keterampilan pengawasan Pemilu dari pengawas Pemilu kepada masyarakat.
Sebelum sampai kepada peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilu, tantangan besar yang juga dihadapi Bawaslu adalah membangun kesadaran politik masyarakat. Kesadaran masyarakat atas kedaulatan yang dimiliki dalam proses demokrasi nyatanya masih rendah. Kerendahan kesadaran tersebut salah satu pemicunya adalah minimnya pengetahuan rakyat mengenai demokrasi, pemilu, dan pengawasan pemilu.
Di sisi lain, harus diakui bahwa, berdasarkan evaluasi, Bawaslu belum secara maksimal menyediakan informasi tersebut bagi masyarakat. Hasil kerja-kerja pengawasan, penegakan hukum Pemilu dan penanganan sengketa yang dijalankan Bawaslu juga belum terdokumentasi dan teriventarisasi secara baik. Bukan hanya media atau wadah penyampaian informasinya saja yang terbatas. Akses bagi masyarakat untuk mendapat informasi dan pengetahuan tersebut juga sangat terbatas.
Oleh Karena itu, dibutuhkan kolaborasi yang kuat antara Bawaslu dan masyarakat pemilih. Kelompok masyarakat yang memberikan perhatian besar terhadap pelaksanaan Pemilu yang berlangsung jujur dan adil berkomunikasi secara intensif dengan Bawaslu. Peningkatan kolaborasi antara Bawaslu dengan kelompok masyarakat sipil inilah yang menjadi kunci peningkatan partisipasi bersama masyarakat.
(Ardy)