Manado, Lintasutara.com – Riswanto Pudinaung (32) barangkali tak pernah menyangka jika hari ini dirinya bakal menjadi seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di tanah kecintaannya, bumi Nyiur Melambai Sulawesi Utara, apalagi ketika mengingat perjuangannya sedari kecil.
Lahir dari keluarga sederhana di pulau Lembeh, pulau di utara kota Cakalang Bitung, pria yang lebih akrab disapa Ipank oleh kawan-kawannya ini hanya ingin melawan stigma kebanyakan orang untuk melawan segala keterbatasan dengan karya untuk peradaban yang lebih baik.
Barangkali demikian apa yang bisa disimpulkan dari Riswanto Pudinaung, sosok yang dulunya gondrong khas seniman jalanan dengan perawakan agak kurus ini, meski dalam sejumlah pertemuan belakangan mulai berdandan rapi imbas kesibukan barunya selaku pendidik yang mewajibkan ia ‘berpenampakan lebih teratur’.
“Sebagai Manusia, kita tidak bisa memilih terlahir dari orang tua seperti apa, lahir dari keluarga kaya atau dari keluarga kurang mampu. Tapi bukan berarti kita tak boleh bermimpi menentukan jalan kita sendiri,” ucap dia sembari bercanda namun serius; gaya khasnya yang tak kunjung hilang.
Riswanto Pudinaung : Jalan 6 KM Perhari Hingga Nyaris Tak Kuliah. Tangkasi Adalah Rahim Semangat Baru
Lahir pada 21 April 1990, Riswanto Pudinaung merupakan buah cinta dari pasangan Gustaf Pudinaung, seorang nelayan kecil dan Peniati Besinung, ibu rumah tangga yang mengurus keluarga kecil mereka.
Dirinya merupakan anak sulung dari tiga bersaudara dalam keluarga Pudinanung – Besinung; keluarga yang dalam penuturan Ipank sendiri “serba pas – pasan” dan atau serba terbatas (Secara ekonomi).
Namun demikian, faktor keterbatasan ekonomi yang dialami keluarga nyatanya tak membuat Gustaf dan istrinya memandang pendidikan sebagai hal yang tak penting; pendidikan anak tetap dipandang penting oleh kedua orang tua berdarah Nusa Utara ini.
“Papa dan Mama tetap menyuruh kami bersekolah, hingga saya bisa mengenyam pendidikan dasar di SD Negeri Posokan dan melanjutkan ke tingkat menengah di SMP Negeri 10 Bitung dan selanjutnya di SMA LPM Bitung,” runut dia.

Kisah menarik Ipank dengan jalan kaki sepanjang 6 KM perhari-pun dimulai ketika ia duduk dibangku SMP hingga SMA , dimana dirinya harus mengandalkan lututnya dari kediaman keluarga di kelurahan Posokan ke kelurahan Motto kecamatan Lembeh Utara dengan jarak tempuh kurang lebih 3,4 KM sekali perjalanan.
Bagi Riswanto Pudinaung, cerita ini menjadi kisah perjuangan yang lumayan penting dalam pengembangan mentalnya agar tak mudah menyerah untuk mematahkan stigma masyarakat terkait kaum kecil.
“Kurang lebih 6 tahun kita (Saya, red) berjalan sejauh 6 KM. Lewat hutan plus jalan curam yang tiap hari menawarkan bahaya tersendiri. Tapikan itu cuma ujian awal apakah kita mampu melawan tantangan kehidupan atau langsung menyerah. Pada akhirnya tantangan itu memang hanya berakhir sebagai tantangan dengan mental berjuang anak pesisir ini sebagai pemenangnya,” lanjutnya sambil tersenyum tipis.
“Film 5 KM Saja Dramatis apalagi 6 KM toh,” lanjut pentolan kelompok teater Tangkasi Bitung yang kini sedikit terawa lebih lepas.
Ditahun 2009, Riswanto Pudinaung nyatanya punya mimpi yang sama dengan kebanyakan anak seangkatannya; menjajaki tantangan perkuliahan dan atau dalam bahasa yang lebih lumrah mengecap pendidikan tinggi. Menjadi Mahasiswa pun saat itu membayang dalam angan-angannya.
Namun demikian, faktor ekonomi keluarga kali ini benar-benar menjadi “sangkar tebal” bagi kepakan sayap Riswanto. Dirinya harus mengandaskan mimpi untuk melanjutkan mimpinya untuk kuliah. “Nda mampu Papa deng mama mo kase kuliah. Ngana so lia torang punya kondisi hidup,” tiru Ipank mengikuti ucapan Ayahnya, sembari secara tegas menyebutkan keengganan dirinya untuk menyerah.
Kisaran tahun 2009 hingga 2013-pun menjadi cerita perjalanan Ipank bekerja serabutan untuk merealisasikan mimpinya melanjutkan pendidikannya. Mulai dari pekerja bangunan, tukang bersih selokan hingga tukang kebun menjadi sejarah tersendiri bagi dirinya.
Salah satu yang tak terpisahkan yakni mulai mendalami seni pertunjukan teater di Sanggar Tangkasi Bitung. Acapkali diplot sebagai Manager Artistic, Ipank menyebutkan pembentukan karakter serta kreativitas dalam berkarya menjadi nilai yang membawa dirinya menjadi sosok yang kian pantang menyerah.
“Selalu ada motivasi ketika masuk dalam Sanggar Tangkasi, apalagi terkait bagaimana memaknai hidup dan kehidupan. Disana karakter kita terbentuk bersamaan dengan bagaimana kita menghargai proses berkarya hingga apa itu rasa persaudaraan. Tangkasi bisa dikata sebagai rahim baru semangat menjalani kerasnya kehidupan,” cuitnya.
Baca Selanjutnya : Riswanto Pudinaung – Tantangan Yang Baru Menuju Kampus Ungu
Baca Juga : Mother’s Day, Sejarah dan Negara Yang Merayakannya