Minahasa, LintasUtara.com – Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado sukses menggelar Festival Seni dan Budaya Minahasa, Sabtu (9/4/2022) di Padies Kimuwu, Warembungan, Minahasa.
Festival ini berkolaborasi dengan Komunitas budaya Mawale, Waraney Wuaya, Mapatik, Institut Sebumi, Pukkat, Kama, Padies Kimuwu dan komunitas lainnya.
Dalam festival tersebut dipentaskanlah tarian, nyanyian, prolog dan juga ada dialog yang menampilkan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Minahasa, Steidy Tumbelaka, Rektor IAKN Manado, Jeane Tulung, Dosen Unsrat Manado, Ivan Kaunang, Aktivis PUKKAT, Denny Pinontoan, Pdt. Ruth Wangkai, MTh.
Rektor IAKN Manado, Dr. Jeane Marie Tulung, STh, M.Pd. dalam sambutannya mengatakan ini merupakan salah satu implementasi Tridharma Perguruan Tinggi, terutama dalam bidang pengabdian masyarakat.
Lanjutnya, Kegiatan ini merupakan upaya mewujudkan Visi IAKN Manado yaitu “Terwujudnya cendekiawan Kristiani berperadaban Indonesia”.
“Saya sangat meyakini bahwa “Cendekiawan Kristiani berperadaban Indonesia” adalah menusia yang sangat mencintai budayanya,” ujarnya.

Menurut Tulung, kearifan lokal dalam perkembangan ilmu pengetahuan sangatlah penting untuk dihargai guna menjaga identitas masyarakatnya.
“Ini merupakan suatu ciri masyarakat yang berperadaban Indonesia, yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya sehinggi tidak tenggelam dalam perkembangan zaman serta kemajuan IPTEKS,” katanya.
Tambahnya, IAKN Manado yang hadir dan mengada di tengah-tengah masyarakat Sulawesi Utara, yang secara khusus berkedudukan di Minahasa sangat menyadari tanggung jawabanya untuk menggali, mengembangkan dan melestarikan seni budaya tradisi.

Hal ini katanya, didorong oleh suatu kesadaran, bahwa seni-budaya yang diwariskan sejak zaman leluhur kita harus dilestarikan dan dirawat.
“Karena, sebagaimana kita menyadari bersama, bahwa dalam seni-budaya tradisi ini terkandung nilai-nilai luhur untuk menjadi kearifan dan pengetahuan bagi masyarakat dalam menghadapi perkembangan zaman yang semakin pesat,” ujarnya.
Hal berikut tentang ‘kecendekiawanan Kristen” dari Visi IAKN Manado itu, selain tentu nilai-nilai keagamaan yang mesti dihidupi, namun juga nilai-nilai budaya setempat yang harus terintegarasi dalam pengembangan intelektual, spiritual serta laku hidup.
“Di lingkungan Kementerian Agama, di mana IAKN Manado menjadi bagian, terus dikembangkan apa yang disebut moderasi beragama untuk toleransi dan hidup berdampingan secara damai antar umat beragama. Festival Seni-Budaya ini adalah bagian dari apa yang boleh kami istilahkan sebagai “Literasi Kultural” atau upaya menggali, melestarikan dan mengepresiasi kekayaan budaya kita,” katanya.
Baginya, Festival seni-budaya Minahasa yang sudah dirancang secara baik ini, selain wadah untuk mementaskan kekayaan seni-budaya, sekaligus sebagai bagian dari upaya mewujudkan visi IAKN Manado, festival ini adalah juga ruang apresiasi dari IAKN Manado, sebagai perguruan tinggi Kristen yang berdiri di atas Tanah Adat Minahasa.
“Kami sangat mengpresiasi kepeloporan, konsistensi dan kemandirian dari para maestro Seni-Budaya Minahasa. Bagi kami, para maestro ini telah berperan dalam melestarikan nilai-nilai luhur para leluhur kita melalui seni-budaya.
Ada ungkapan dalam bahasa Tombulu, “Tumete Witu Un Tete Tinetean Ne Nimatete”, artinya kira-kira begini: “Berjalanlah pada jalan yang telah dilalui oleh para leluhur atau pendahulu”. Cara kita untuk berbudaya mungkin sudah berubah, namun nilai-nilai dari budaya leluhur tersebut tentu memiliki makna kehidupan ketika kita pahami dan gali maknanya. Nilai-nilai tersebut antara lain terdokumentasi dalam seni budaya seperti yang akan ditampilkan dalam festival ini,” ujarnya.
Bagian dari upaya untuk memantapkan kehadiran IAKN Manado di tengah-tengah masyarakat maka akan dibuka beberapa program studi baru, 2 di antaranya adalah Prodi. Etnomusikologi dan Prodi. Pariwisata Agama dan Budaya.
“2 prodi baru ini tentu tidak lepas dari kekayaan seni dan budaya daerah kita ini. Pembukaan prodi-prodi baru tersebut bagian dari upaya kami menuju Universitas Kristen Negeri Minahasa. Mohon doa restu dari bapak/ibu, saudara/i sekalian agar upaya kami ini dapat segera terwujud,” ujarnya.
Inilah cara sederhana kata Tulung dalam mengapresiasi kepeloporan, konsistensi dan kemandirian para seniman dan budawayan ini.
“Ada ungkapan dalam bahasa Tombulu yang bermakna kebersamaan untuk mencapai kebaikan bersama yang diambil dari tradisi mengerjakan saluran air: “Setou sesanawanua mapapaluka´an ma´weresi u lalan dano”. Jika kita gali maknanya untuk kepedulian bersama kita sekarang ini, ungkapan itu memberi pesan bagi kita untuk bersama-sama, bahu-membahu melestarikan budaya kita dengan cara dan kemampuan kita masing-masing,” pungkasnya. (*)