Sangihe, Lintasutara.com – Seremoni pembukaan Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (MPL PGI) berlangsung di GMIST Betlehem Tahuna, Jumat (28/01/2022).
Dibuka sedari pukul 09.00 WITA, liturgi ibadah pembukaan berlangsung penuh aksi teatrikal dan simbol-simbol serta ritual adat yang menjadi kearifan lokal Negeri Tampungang Lawo.
Tak hanya itu, pesertapun diatur untuk duduk mengelilingi bagian tengah gedung yang terdapat perahu Londe (Perahu Tradisional Sangihe) diatas bentangan kain biru dan putih.

Pendeta Senior Sangihe Ambrosius Makasar menuturkan jika hal itu terjadi karna memang GMIST bertumbuh ditengah adat istiadat, dan sebagai gereja yang beraliran Calvinis, GMIST mengakui jika adat harus menjadi sarana dalam “mendaratkan” Injil Kristus.
“Jadi kalau adat dipakai dalam rangka pelayanan, itu menggambarkan adanya perjumpaan adat dengan injil dan itu bisa lebih mudah dipahami umat dan masyarakat,” tutur pria yang juga menjabat Ketua FKUB Sangihe ini.
Penggunaan pentas adat dalam Pembukaan Sidang MPL PGI kali ini, lanjut Makasar untuk memberi kesan mendalam jika persidangan memang dilaksanakan di Sangihe.
“Identitas Sangihe memang ditonjolkan seperti penggunaan atribut-atribut yang kental dengan masyarakat Sangihe seperti perahu, ombak dan laut hingga kelapa.Ritual-ritual yang menjadi tradisi dan kearifan lokal masyarakat adat Sangihe yang ditampilkan, membawa kewibawaan tersendiri bagi sidang ini,” pungkasnya.
Konsep Baru Dalam Gelaran Sidang MPL-PGI
Pdt. Glorius Bawengan, figur yang notabene dikenal sebagai dramawan Kristen menyebutkan jika konsep yang ditawarkan dalam pembukaan Sidang MPL-PGI 2022 memang diatur tak seperti biasanya.
Hal ini memang nampak dalam Ibadah yang dominan dengan pentas teatrikal dimulai dari aksi Teater Vanos yang melakonkan “Toga Kotor” sedemikian apik dan dilanjutkan dengan aksi Monolog yang cukup menyita perhatian oleh Pdt. Glorius Bawengan.
Bahkan, Pembukaan sidang-pun lakukan dengan pemecahan batok kelapa sesudah Ketua PGI Pdt. Gomar Gultom keluar dari tirai yang disobek menggunakan parang, Pemberkatan yang dilakukan dengan memercik air bercampur bunga “manuru” (Melati Putih) menggunakan bunga “Tawaung” (Tawaang) diatas bentangan kain yang diartikan “lautan pelayanan”.

“Belum pernah ada ibadah yang menggunakan model seperti tadi, dimana jemaatnya mengelilingi tempat lakon. Prinsip pertama dari ibadah ini yakni seluruh jemaat menjadi pelakon dalam drama dan Tuhan yang menikmati sajian harapan kita,” jelas Bawengan.
Dirinyapun menyatakan jika sepanjang sejarah persidangan (PGI, red) biasanya ibadah pembukaan hanya berlangsung secara ritual seperti biasanya tanpa ada sentuhan entertain.
“Dan kali ini kita buat berbeda seperti menampilkan drama dan pentas seni lainnya yang kita laksanakan secara total,” pungkasnya.
Baca Juga : Pimpin Konas XIV FK-PKB PGI di Sumut, Ini Kata Gaghana
Menyiratkan Kritik Ekologi
Baca Juga : Gunung Api Bawah Laut “Banua Wuhu” Sangihe, Surga Bagi Para Penyelam
Aksi teatrikal hingga penataan konsep ibadah kali ini nyatanya sengaja ditampilkan sebagai sikap Kekristenan menyikapi kondisi masyarakat yang terasa masa kini.
Bawengan-pun mengakui jika dalam tiap lakon yang ditampilkan “menusuk” perubahan sikap Manusia dalam memandang dan menghargai ciptaan Allah.
“Pesan PGI sebenarnya cuma satu dan itu tertuang dalam pokok pikiran sidang kali ini yakni Spiritualitas Keugaharian Membangun Keadaban Publik Demi Pemeliharaan Bumi Sebagai Sakramentum Allah,” sebut Bawengan.

Ugahari, lanjutnya, merupakan wujud kehidupan yang sederhana dan bersahaja, lantas keugaharian Manusia kemudian menjadi tidak nampak dalam kesehariannya ketika timbul sikap tamak dan rakus.
“Ketamakan dan kerakusan itu yang kemudian menyebabkan Gereja menjadi sesuatu yang limbung. Makanya, melalu sidang ini kita semua diajak untuk kembali pada keugaharian; menjadi sakramentum Allah untuk bumi,” jelas dia.
Dirinyapun berharap, kritik yang disampaikan tidak hanya menjadi pokok pikiran yang tercantum pada Baliho saja, namun benar-benar memberi dampak pada perubahan sikap umat dan lebih besar lagi Masyarakat.
“Sangat diharapkan kita sekalian agar bisa kembali pada keugaharian dimaksud dengan kembali pada sikap hidup yang sederhana dan bersahaja dalam memelihara kehidupan dan bumi yang sudah diberikan Allah,” kuncinya.
Ketua Sinode GMIST : Kebanggaan Tersendiri
Pembukaan Sidang nan unik yang ditampilkan panitia pelaksana khususnya seksi acara menjadi kebanggaan tersendiri bagi Ketua Sinode GMIST Pdt. Dr. Welman Boba, terutama mengingat kacamata Indonesia yang saat ini bergeser memandang ke utara Indonesia, Kabupaten Kepulauan Sangihe.

Sebagai pimpinan organisasi yang notabene menjadi tuan rumah MPL PGI Tahun 2022, dirinya menilai konsep yang sudah dirancang panitia sedari awal perencanaan, sangat istimewa.
“Memang harusnya seperti itu, sebab budaya pesisir bagi masyarakat Sangihe merupakan identitas dan itupun menjadi identitas tersendiri GMIST dan sangat kental terasa dalam lakon-lakon yang dipentaskan. Itu menjadi kebanggan tersendiri bagi kita,” singkat Ketua Sinode yang baru terpilih pada Desember tahun 2021 ini.
(Gr)