Sementara itu, Duta Besar Djauhari Oratmangun dari Hangzhou menyampaikan beberapa hal penting terkait dinamika hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok.
Pertama, sejak 2013 Indonesia dan Tiongkok adalah comprehensive strategic partnership sementara sejak 2005 strategic partnership dan sedang merayakan 71 tahun hubungan diplomatik Indonesia dan Tiongkok yang terjalin sejak 13 April 1950. Dinamika hubungan ini bertumpu pada tiga pilar yakni politik keamanan, ekonomi dan pembangunan, sosial dan budaya.
“Saya mungkin akan lebih menekankan pada pilar ekonomi serta sosial budaya. Pilar politik dan keamanan saya kira sudah banyak yang dikerjakan apakah itu dalam konteks bilateral maupun dalam kerja sama regional khususnya East Asia Summit (EAS)-ASEAN, ARF serta keterlibatan bersama-sama dalam forum-forum multilateral. Selain itu, tentunya kita berharap juga bahwa dimasa yang akan datang gagasan Indonesia yang telah diwujudkan menjadi ASEAN Outlook on the Indo-Pacific dapat didukung oleh Tiongkok dan beberapa negara partner ASEAN.” ucap Dubes Djauhari.
Lanjut Dubes Djauhari, pada bagian kedua yakni sektor ekonomi, di tahun 2020 pertumbuhan volume ekspor antara Indonesia dan Tiongkok telah mencapai 78,9 miliar USD.
Menurutnya, Tiongkok merupakan partner dagang Indonesia yang terbesar saat ini. Dibidang investasi pada tahun 2020 realisasi investasi Tiongkok di Indonesia sudah mencapai 4,8 miliar USD sementara Hongkong berada di posisi keempat dengan jumlah 3,5 miliar USD. Apabila Tiongkok ditambahkan dengan Hongkong maka itu jumlah yang sangat signifikan.
Dalam bidang tourism economy, Indonesia dihadapkan pada situasi pandemi sehingga tahun 2020 sangat minim jumlah turis dari Tiongkok yang berkunjung.
Padahal tahun 2019 turis Tiongkok yang berkunjung ke Indonesia berjumlah 2,1 juta pengunjung. Selanjutnya kontribusi digital economy di Tiongkok terhadap GDP sudah 32% sementara di Indonesia sekitar 3%. Indonesia diprediksi akan menjadi leader disektor digital economy di tahun 2025 dengan nilai 130-150 miliar.
“Pilar yang ketiga adalah sosial budaya, tentunya pertukaran budaya antar kedua negara sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu dan itu sekarang direfleksikan juga hingga sebelum masa pandemi. Sementara itu jumlah mahasiswa asal Indonesia yang studi di Tiongkok telah mendekati 16.000 orang,” kata dia
“Kita berharap dimasa yang akan datang semakin banyak mahasiswa Indonesia yang mengejar ilmu ke Tiongkok karena kelak mereka yang akan menjadi jembatan kata-kata bagi hubungan Indonesia-Tiongkok. Sementara itu semakin banyak juga mahasiswa Tiongkok yang mengikuti pendidikan tinggi di Indonesia,” pungkasnya sembari menekankan jika kedua negara juga bekerja sama dalam infrastruktur kesehatan untuk menjamin ketersediaan pasokan vaksin ke Indonesia.

Dekan Fisip UBK, Franky P. Roring memaparkan Indonesia memiliki posisi tawar terhadap Tiongkok namun dia menilai wajar dalam hubungan diplomatik, setiap negara mengajukan kepentingan nasionalnya.
“Namun dalam relasinya tentu berdasarkan kepentingan yang saling membagi, apakah bentuknya keuntungan atau manfaat,” kata Franky.
Franky menambahkan, kendala utama hubungan Indonesia-Tiongkok yakni diwarnai dengan kecurigaan dan persepsi serta opini negatif sebagai masyarakat kepada kepentingan terselubung dan ambisi Tiongkok. Bahkan menurutnya, kecurigaan juga ditujukan kepada pemerintah Indonesia sendiri karena dianggap terlalu dekat dengan Tiongkok.
“Maka penting untuk membangun saling kesepahaman antar masyarakat atau people to people. Selain itu tetap bersahabat dengan lain negara sesuai prinsip bebas aktif dan prinsip one thousand friend zero enemy,” jelasnya.
Wakil Duta Besar RI untuk RRT merangkap Mongolia, Dino Kusnadi yang juga hadir mendampingi Duta Besar menyampaikan, balas hubungan bilateral yang stabil adalah hubungan people to people contact dibidang sosial budaya.
Hubungan antara non pemerintah, universitas, akademisi, dan pertukaran antar mahasiswa itu sebenarnya menjadi balas yang bisa menjembatani generasi kita dan generasi Tiongkok saat ini.
“Untuk generasi kita, kita harus terus bisa memberikan sumbangsi dibangun balas people to people sehingga kalau terjadi masalah dan gangguan ekonomi maka masyarakat kita akan saling menguatkan karena sudah saling memahami latar belakang budaya dan filosofi hidupnya,” ungkap Dino.
“Disinilah letak peran dari mahasiswa dan akademisi untuk memperdalam pemahaman kita tentang Tiongkok. Begitu juga dari Tiongkok, kita berusaha memperkenalkan Indonesia yang saat ini adalah maju, modern, demokratis dan berasaskan Pancasila. Mudah-mudahan dengan balas people to people contact ini maka hubungan bilateral Indonesia-Tiongkok dapat dimanage dengan baik dan kita bisa sama-sama merasakan kesejahteraan pada masa-masa yang akan datang,” sambung dia.
Harsen Roy Tampomuri selaku akademisi Fisip UBK yang memoderatori jalannya webinar menyampaikan, pandangan visioner Soekarno pada pertengahan tahun 1950 hingga 1965 terkait Tiongkok sebagai mercusuar dan pusat modernisasi di luar blok Barat dan blok Timur yang sejalan dengan gagasan New Emerging Forces (NEFO) memiliki relevansinya kini.
Ketika melihat polaritas dalam sistem internasional secara khusus sistem kontemporer, terlihat perubahan dalam tatanan global dengan munculnya kekuatan baru termasuk dari Asia yakni Tiongkok.
Menurut Harsen, Indonesia wajib melihat peluang kerja sama dalam ragam konstelasi global, termasuk dengan Tiongkok. Tiongkok yang kini kuasai 18 persen ekonomi dunia tentu tidak bisa diabaikan keberadaannya. Kerja sama dua arah di berbagai bidang perlu diperkuat dengan terus menjaga politik luar negeri bebas aktif baik dengan Tiongkok maupun negara manapun.
“Selain itu kerja sama diruang-ruang akademik intelektual tentunya diperlukan pemerintah khususnya Kementerian Luar Negeri dalam rangka memboboti pertimbangan untuk pembuatan kebijakan luar negeri. Disinilah collaborative governance berbasis pendekatan penta helix dibutuhkan yakni dengan melibatkan lima jenis pemangku kepentingan, baik academic, business, community, government maupun media. Semoga kerja sama UBK dengan KBRI Beijing dapat terus berlanjut,’ ungkap Harsen menutup rangkaian diskusi dalam webinar.
(am)