Sejarah, Lintasutara.com – Perang kemerdekaan Yunani atau disebut revolusi Yunani melawan kesultanan Ottoman (sekarang Turki), meletus pada 25 Maret 1821. Perang ini tercatat sebagai salah satu peristiwa sejarah penting dunia.
Kesultanan Ottoman atau Kesultanan Utsmaniyah adalah kesultanan yang didirikan oleh suku Turki di Anatola pada abad ke-13 pasca tumbangnya kekaisaran Byzantium atau Romawi Timur pada tahun 1453.
Pada abad ke-15 dan ke-16, Ottoman menjadi salah satu imperium terkuat di dunia dengan wilayah kekuasaan yang membentang dari semenanjung Balkan, Timur Tengah, Afrika Utara hingga wilayah Eropa Selatan.
Beberapa wilayah yang berhasil dikuasainya, seperti Mesir, Irak, Suriah, Aljazair, dan sebagian besar wilayah Jazirah Arab, serta Austria (sampai gerbang kota Wina), Ukraina, hingga Yunani.
‘Imperialisme’ Ottoman ini memunculkan perlawanan dari rakyat Yunani, dan puncaknya pada tanggal 25 Maret 2021, perlawanan secara serempak terjadi di seantero Yunani, yang membuat pengaruh Ottoman di negara itu semakin berkurang. Tanggal bersejarah tersebut lalu ditetapkan sebagai Hari Kemerdekaan Yunani.
Perang Kemerdekaan Yunani
Melansir Britannica.com, Kamis (25/3/2021), Penjajahan Kesultanan Ottoman di Yunani atau dikenal dengan istilah Tourkokratia (Kekuasaan Turki) berlangsung selama kurang lebih empat abad, pasca kekalahan kekaisaran Byzantium tahun 1453.
Dalam pendudukannya di Yunani, Ottoman menerapkan aturan-aturan yang dianggap sangat tidak menguntungkan rakyat Yunani, sehingga satu per satu bermunculan gerakan pemberontakan, meminta kemerdekaan Yunani.
Awal pemberontakan dilakukan secara sporadis, baik di daratan maupun di pulau-pulau Aegean. Pemberontakan ini muncul setelah Angkatan Laut Ottoman dikabarkan mengalami kekalahan dalam pertempuran dengan Don John dari Austria pada tahun 1571. Pemberontakan lain juga dilancarkan oleh Dionysius Skylosophos dan kelompoknya di Epirus pada tahun 1611.
Pada akhir abad ke-17, Ottoman mengalami kemunduruan setelah penaklukan berkepanjangan terhadap wilayah lain di Eropa yang mengalami kegagalan. Ottoman gagal dalam pengepungan Wina pada tahun 1683 dan pasukannya dipukul mundur oleh pasukan kerajaan-kerajaan di Eropa, lalu secara bersamaan dipukul mundur oleh pasukan Austria, Rusia, dan Persia.
Dalam perang dengan Rusia (1768–1774) dan puncaknya pada pertempuran Kozludzha, Ottoman kalah telak dan harus menandatangani perjanjian Kucuk Kaynarca yang menguntungkan Rusia di mana Rusia mendapatkan beberapa wilayah yang dikuasai Ottoman dan memiliki klaim atas semua penganut Kristen aliran Ortodoks yang ada di wilayahnya.
Belum lagi, Ottoman kehilangan kontrol atas benteng-benteng pertahanan di wilayah pendudukannya di beberapa wilayah, baik di Turki Eropa dan Asia, sehingga memberikan dorongan kepada kelompok nasionalis Yunani untuk melawan dan bahwa kesultanan Ottoman bukan lagi kekuatan yang tak terkalahkan.
Ottoman yang semakin melemah kembali membuka kesempatan perlawanan dari rakyat Yunani yang melakukan pemberontakan (kendati gagal) di Peloponnese pada tahun 1770 pada masa Perang Rusia-Turki tahun 1768–74.
Pemberontakan terhadap pendudukan Ottoman berlanjut dengan gerakan politik untuk membakar nasionalisme rakyat Yunani, diinisiasi perkumpulan rahasia, Philikà EtaireÃa (“Persaudaraan yang Ramah”), yakni sebuah gerakan patriotik yang berdiri di Odessa (sekarang Ukraina) pada tahun 1814.
Di tengah banyaknya rakyat Yunani dari semua kelas yang menginginkan kemerdekaan, didukung dengan paham Hellenisme, atau semangat nasionalisme Yunani yang dianut, yang telah lama dijaga oleh Gereja Ortodoks Yunani, dengan mempertahankan bahasa Yunani, Kesultanan Ottoman semakin kehilangan kontrol. Ditambah lagi, masuknya pengaruh pemikiran-permikiran revolusioner Barat, yang memperkuat paham Hellenisme yang dianut rakyatnya, sehingga mendorong rakyat Yunani untuk memeroleh kemerdekaan.
Pemberontakan semakin meluas dan didukung oleh lebih banyak rakyat Yunani. Pada Februari 1821, dipimpin oleh Alexander Ypsilantis, pemimpin Etairist, pemberontak Yunani menyeberangi Sungai Prut ke Moldavia yang dikuasai Turki, tapi meskipun Ypsilantis segera dikalahkan, namun Ottoman kewalahan dengan meletusnya pemberontakan-pemberontakan kecil di berbagai tempat.
Pada tanggal 25 Maret 1821, pemberontakan sporadis melawan pemerintahan Turki kembali meletus di Peloponnese di Yunani Utara Teluk Korintus (Korinthiakos), dan secara serentak terjadi beberapa pulau lainnya. Dalam waktu satu tahun, pemberontak telah menguasai Peloponnese, dan pada bulan Januari 1822 mereka mendeklarasikan kemerdekaan Yunani. Turki mencoba tiga kali (1822–24) untuk menginvasi Peloponnese tetapi tidak dapat merebut kembali wilayah tersebut.
Yunani lalu diterpa oleh perang saudara. Pada tahun 1823, perang saudara pecah antara pemimpin gerilyawan Theodoros Kolokotronis dan Georgios Kountouriotis, yang merupakan kepala pemerintahan yang dibentuk pada bulan Januari 1822 tetapi terpaksa melarikan diri ke pulau Hydra (Ydra) pada bulan Desember 1822.
Kolokotronis pun kalah dalam perang saudara dan dipenjarakan di Hydra, namun kemudian dibebaskan dan bergabung dengan faksi Kountouriotis, yang telah menjabat sebagai pemimpin resmi Yunani. Yunani pun bersatu melawan Ottoman dan Mesir yang dipimpin Ibrahim Pasha pada tahun 1825.
Pasukan Ottoman di bawah Ibrahim Pasha bersama pasukan Mesir berhasil menguasai Peloponnese, lalu merebut Missolonghi pada April 1826, kota Athena pada Agustus 1826, dan Akropolis Athena pada Juni 1827.
Intervensi Eropa
Keberhasilan invasi Ottoman dan Mesir membuat Eropa melakukan intervensi, dengan menawarkan untuk menengahi Turki dan Yunani (1826 dan 1827) dan mengusulkan pembentukan negara Yunani otonom, yang ditolak Turki.
Atas penolakan ini, Inggris, Prancis, dan Rusia mengirimkan armada Angkatan Laut mereka ke Navarino (sekarang Pylos). Koalisi tiga negara ini berhasil menghancurkan armada Mesir pada 20 Oktober 1827.
Kendati demikian, perang terus berlanjut, dan Rusia terus menyerang pasukan Ottoman dalam Perang Rusia-Ottoman/Turki (1828–29), yang membuat Ottoman kembali menelan kekalahan telak.
Ottoman Menyerah, Yunani Sepenuhnya Merdeka
Ottoman yang telah kehilangan pengaruhnya di Yunani, membuat kerajaan-kerajaan Eropa menyelenggarakan konferensi di London, yang menghasilkan Protokol London (3 Februari 1830), menyatakan Yunani sebagai negara monarki yang merdeka di bawah perlindungan mereka.
Pada pertengahan tahun 1832, perbatasan utara Yunani telah ditetapkan di sepanjang garis yang membentang dari selatan Volos ke selatan Arta, dan Pangeran Otto dari Bavaria, keturunan kaisar Byzantium, diangkat sebagai Raja Yunani.
Dan pada akhirnya, melalui Perkanjian Konstantinopel pada Juli 1832, Sultan Ottoman mengakui kemerdekaan Yunani.
(am)