Lintasutara.com – Perjanjian Renville berawan dari proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 bersamaan dengan kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, Belanda mencoba kembali untuk menguasai Indonesia.
Bangsa Indonesia berupaya untuk mempertahankan kemerdekaan, baik dengan perlawanan di medan perang maupun di meja perundingan. Salah satu perundingan yang menjadi catatan sejarah bangsa Indonesia adalah Perjanjian Renville 17 Januari 1948.
Melansir Encylopedia Britannica, Minggu (17/1/2021), Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dan Belanda terkait sengketa kedaulatan Indonesia pasca perjanjian Linggarjati.
Nama Renville sendiri diambil dari nama kapal perang Amerika Serikat, tempat ditandatanganinya perjanjian itu.
Latar Belakang Perjanjian Renville
Sebelum perjanjian Renville, sudah ada perjanjian Linggarjati yang disepakati oleh Indonesia dan Belanda pada 15 November 1946 dan ditandatangani pada 25 Maret 1947.
Dalam perjanjian Linggarjati, yang sebenarnya sangat merugikan Indonesia, disepakati beberapa hal, diantaranya terkait wilayah de facto Republik Indonesia yakni Jawa dan Sumatera, serta Pembentukan Republik Indoensia Serikat (RIS).
Namun Perjanjian Linggarjati tidak menyelesaikan konflik antara keduanya. Indonesia menuding Belanda melanggar perjanjian, begitu pula sebaliknya.
Pada 20 Juli 1947, Belanda menyatakan tidak lagi tunduk pada perjanjian Linggarjati dan hanya berselang sehari (21 Juli 1947), melancarkan Agresi Militer I ke wilayah Jawa dan Sumatera.
Merespon Agresi Militer Belanda ini, Indonesia meminta bantuan dunia internasional, sehingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akhirnya menengahi, yang berujung pada pembentukan Good Office Committee (GOC) atau Komite Tiga Negara (KTN), terdiri dari Amerika Serikat, Australia dan Belgia.
Indonesia menunjuk Australia, Belanda memilih Belgia, sedangkan AS disetujui oleh kedua belah pihak.
Amerika Serikat lalu mempertemukan perwakilan Indonesia dan Belanda di kapal Renville, yang saat itu sedang berlabuh di Tanjung Periuk, Jakarta. Delegasi Indonesia yang hadir diketuai oleh Perdana Menteri Amir Sjarifuddin sedangkan dari pihak Belanda diwakili oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak Belanda.
Isi Perjanjian
Perundingan di kapal Renville milik AS antara Indonesia dan Belanda dimulai pada 8 Desember 1947 dan isi perjanjian dari perundingan tersebut disepakai pada 17 Januari 1948, ditandatangani oleh Amir Sjarifuddin yang mewakili Republik Indonesia.
Namun isi perjanjian itu sangat merugikan Indonesia. Tak hanya kehilangan beberapa wilayahnya, Indonesia juga harus menarik Angkatan Bersenjata dari wilayah yang ditetapkan sebagai wilayah Belanda berdasarkan perjanjian itu, seperti Jawa Barat dan Jawa Timur.
Berikut ini isi perjanjian Renville antara Indonesia dan Belanda:
- Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan segera.
- Belanda tetap berkuasa hingga terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS)
- Republik Indonesia akan menjadi negara bagian RIS.
- Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah RI.
- Akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda yang dipimpin oleh Raja Belanda.
- Akan diadakan referendum (pemilihan umum) untuk menentukan nasib wilayah dalam RIS.
- Akan diadakan pemilihan umum untuk membentuk Dewan Konstituante RIS.
- Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda.
- TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur.
Dampak Perjanjian Renville
Pihak yang paling dirugikan dari perjanjian ini adalah Republik Indonesia. Tak hanya wilayahnya yang semakin mengecil, Tentara Nasional juga harus terpaksa ditarik ke wilayah RI berdasarkan perjanjian itu.
Selain itu, ekonomi Indonesia ikut diblokade oleh Belanda. Padahal dalam perjanjian tersebut mengatur normalisasi jalur ekonomi dan dagang antara keduanya.
Ditambah lagi, Belanda membentuk negara Boneka, seperti negara Borneo Barat, negara Madura dan lainnya, yang memecah belah rakyat Indonesia.
Kondisi politik RI kala itu juga memanas. Amir Sjarifuddin dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas kerugian besar Indonesia akibat Perjanjian Renville.
Sejumlah partai politik menolak perjanjian tersebut dan menarik dukungan dari pemerintahannya.
Protes keras ini membuat Perdana Menteri Amir Sjarifuddin mundur dari jabatannya sebagai Perdana Menteri pada 23 Januari 1948.
Perjanjian Renville sangat merugikan bagi Republik Indonesia dan perjanjian ini pun dianggap berakhir setelah Belanda melanggarnya dengan melancarkan Agresi Militer II pada tanggal 18 Desember 1948.
(AM)